Jangan Berselisih Akibat Perbedaan Mazhab, Ini Penjelasannya

Perbedaan mazhab merupakan hal yang niscaya dalam Islam

Antara/Adiwinata Solihin
Perbedaan mazhab merupakan hal yang niscaya dalam Islam. Ilustrasi umat Islam
Rep: Imas Damayanti Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Allah ﷻ memerintahkan umat Muslim untuk saling menjaga persatuan dan menghalau perbedaan. 

Baca Juga


Namun demikian, dalih tersebut justru dijadikan alasan bagi sementara umat Muslim menuding mazhab sebagai sumber perpecahan, benarkah demikian?

Sutomo Abu Nashr dalam buku Mazhabmu Rasulullah? menjelaskan, tidak diragukan lagi bahwa Allah ﷻ memerintahkan persatuan kaum Muslimin dan mengharamkan perpecahan. 

Salah satu penyebab perpecahan itu adalah adanya perbedaan mazhab fikih, sebab para penganutnya lebih membela mazhab dibanding agamanya.

Sebagian fanatisan mazhab non-qunut subuh, misalnya, tidak mau sholat berjamaah di sebuah masjid jika imamnya adalah pelaku qunut subuh, begitu juga sebaliknya. 

Walaupun kejadian seperti itu bukan kejadian yang terjadi di semua masyarakat kaum Muslimin, akan tetapi jika terdapat banyak perbedaan pandangan dalam ritual ibadah kaum Muslimin, maka potensi perpecahan itu benar-benar terbuka lebar.

Sebelum adanya mazhab, meskipun belum ada yang merumuskan konsep mazhab, akan tetapi sudah ada sekian pandangan hukum-hukum fikih yang berbeda. Realita perbedaan pandangan hukum fikih tersebut menunjukkan bahwa mazhab benar-benar sudah muncul di masa awal sekali Islam.

Bahkan bagi mayoritas ulama ushul fikih, mereka menyatakan bahwa ijtihad juga terjadi dan dilakukan Rasulullah ﷺ. Maka mazhab juga sudah ada pada saat Nabi Muhammad ﷺ masih hidup, yakni pada saat belum ada wahyu yang turun untuk suatu persoalan tertentu yang masih diperdebatkan.

Begitu juga pascawafatnya Nabi, para sahabat juga memiliki dinamika perbedaan hukum fikih yang cukup menarik. Ada perdebatan antara Zaid bin Tsabit dengan Abdullah bin Abbas, ada pula mazhab Ibnu Umar dan Ibnu Mas’ud.

Bahkan tak jarang, Sayyidah Aisyah dikenal beberapa kali mengoreksi atau berbeda pendapat dengan banyak sahabat, termasuk para sahabat besar seperti Sayyidina Abu Bakar, ayahnya. Koreksi Sayyidah Aisyah ini dihimpun dengan cukup bagus oleh beberapa ulama Syafiiyah di antaranya oleh Badrudin Az-Zarkasyi.

Baca juga : Bagaimana Cara Meraih Kebahagiaan?

Pada masa tabiin, sudah mulai tampak polarisasi pemikiran berdasarkan wilayah geografis. Ada banyak murid Ibnu Abbas dengan madrasahnya di Makkah. Ada Ikrimah, Thawus, Jabir, dan lainnya juga. Namun yang sering dikutip dalam pandangan fikihnya adalah Atha’ dan Said bin Jubair.

Di madinah, umat Islam mengenal Ibnu Umar yang murid-muridnya kemudian menjadi guru-guru dari banyak ulama, termasuk Imam Malik. Begitu juga di Kufah, Abdullah bin Mas’ud adalah salah satu akar dari pandangan fikih Imam Abu Hanifah.

Walaupun jauh lebih banyak kesamaan antara madrasah-madrasah yang berbeda tersebut, namun ada juga perbedaannya. Saat berbeda-beda itulah, umat Islam mengenal istilah Mazhab Makkah, Kufah, maupun Madinah.

Di masa itulah, mazhab fikih yang sudah ada adalah mazhab dengan definisinya yang paling dasar. Yakni pandangan ijtihadi personal seorang mujtahid dalam hukum syariah yang digali dari sumber (dalil)-nya yang bersifat dzanni.

Baca juga : IPW Soroti Polda Jabar Cepat Tangani Kasus Bahar, Beda dengan Denny Siregar

Yang paling penting dari definisi tersebut adalah sifat ijtihadi itu. Karena mazhab bersifat ijtihadi, maka konsekuensinya adalah bisa salah dan bisa benar, boleh dipilih dan boleh ditinggalkan, serta bisa berubah.

Oleh karena itulah, wilayahnya hanya ada pada hal-hal yang sifatnya dzanni (relatif asumtif) seperti qunut subuh. Sedangkan wajibnya sholat subuh tidak mengenal adanya mazhab, karena hukum wajibnya merupakan kesimpulan yang sifatnya qath’i atau pasti.    

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler