Kementerian ESDM Turunkan Harga Acuan Batu Bara Januari 2022
Sepanjang tahun 2021 lalu, harga acuan batu bara cukup mengalami kenaikan pesat.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Harga batu bara acuan (HBA) bulan Januari 2022 mengalami penurunan dibandingkan realisasi pada desember tahun lalu. Realisasi januari ini HBA tercatat 158,50 dolar AS per ton.
Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama (KLIK) Kementerian ESDM Agung Pribadi menjelaskan penurunan tersebut salah satunya dipicu adanya peningkatan produksi batu bara domestik China.
Sepanjang tahun 2021 lalu, HBA cukup mengalami kenaikan pesat. Bahkan sempat mencapai level tertinggi dalam satu dekade terakhir. Dibuka di level 75,84 dolar AS per ton, HBA terus naik hingga Maret sampai 84,47 dolar AS per ton.
Selanjutnya terus mengalami kenaikan secara beruntun hingga bulan November 2021 pada angka 215,01 dolar AS per ton. Rinciannya, April di angka 86,68 dolar AS per ton, Mei (89,74 dolar AS per ton), Juni (100,33 dolar AS per ton), Juli (115,35 dolar AS per ton), Agustus (130,99 dolar AS per ton), September (150,03 dolar AS per ton), dan Oktober (161,63 dolar AS per ton). Namun sempat mengalami penurunan pada Desember menjadi 159,79 dolar AS per ton.
HBA merupakan harga yang diperoleh dari rata-rata indeks Indonesia Coal Index (ICI), Newcastle Export Index (NEX), Globalcoal Newcastle Index (GCNC), dan Platt’s 5900 pada bulan sebelumnya, dengan kualitas yang disetarakan pada kalori 6322 kcal per kg GAR, Total Moisture 8 persen, Total Sulphur 0,8 persen, dan Ash 15 persen.
Nantinya, harga ini akan digunakan secara langsung dalam jual beli komoditas batu bara (spot) selama satu bulan pada titik serah penjualan secara Free on Board di atas kapal pengangkut (FOB Veseel).
Terdapat dua faktor turunan yang memengaruhi pergerakan HBA yaitu, supply dan demand. Pada faktor turunan supply dipengaruhi oleh season (cuaca), teknis tambang, kebijakan negara supplier, hingga teknis di supply chain seperti kereta, tongkang, maupun loading terminal.
Sementara untuk faktor turunan demand dipengaruhi oleh kebutuhan listrik yang turun berkorelasi dengan kondisi industri, kebijakan impor, dan kompetisi dengan komoditas energi lain, seperti LNG, nuklir, dan hidro.