Omicron Sudah Kehabisan Orang untuk Diinfeksi di Inggris dan AS?

Kasus omicron di Inggris dan AS turun dengan cepat.

Pixabay
Ilustrasi varian omicron dari virus penyebab Covid-19. Kasus omicron di Inggris dan AS tampak sudah mencapai puncaknya dan turun dengan cepat.
Rep: Puti Almas Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Kasus Covid-19 yang disebabkan oleh infeksi SARS-CoV-2 varian omicron sepertinya telah mencapai puncaknya di Inggris dan Amerika Serikat (AS). Kasus-kasus di kedua negara tampak mulai menurun secara dramatis.

Apa yang membuatnya bisa begitu? Faktor yang memengaruhi kemungkinan ialah sifat omicron yang sangat menular.

Kemungkinan omicron sudah kehabisan orang untuk diinfeksi. Itu terjadi selang 1,5 bulan setelah varian ini pertama kali terdeteksi di Afrika Selatan.

Baca Juga



"Kasus omicron akan turun secepat naiknya," ujar Ali Mokdad, seorang profesor ilmu metrik kesehatan di University of Washington di Seattle, dilansir Fox News, Kamis (13/1/2022).

Hanya saja, para ahli memperingatkan bahwa masih terlalu dini menyimpulkan demikian. Hal ini karena masih banyak ketidakpastian mengenai bagaimana fase pandemi selanjutnya akan terungkap.

Kasus Covid-19 yang menurun di Inggris dan AS tidak terjadi di banyak negara lainnya. Bahkan, ada kemungkinan bahwa dalam beberapa pekan atau bulan mendatang, fasilitas kesehatan di banyak negara yang terdampak akibat lonjakan pasien.

"Masih banyak orang yang akan terinfeksi saat kita mempelajarinya lebih lanjut," jelas Lauren Ancel Meyers, direktur Konsorsium Pemodelan Covid-19 di University of Texas, yang memperkirakan bahwa kasus yang dilaporkan akan memuncak dalam satu pekan ke depan.

Pemodelan yang dilakukan oleh University of Washington juga memproyeksikan bahwa jumlah kasus yang dilaporkan setiap hari di AS akan mencapai 1,2 juta pada 19 Januari mendatang. Setelah itu, penurunan tajam terjadi karena semua orang dapat terinfeksi akan terinfeksi.

Faktanya, dengan perhitungan kompleks, Mokdad mengatakan, jumlah sebenarnya dari kasus Covid-19 harian baru di AS yang mencakup orang-orang yang tidak pernah dites telah mencapai puncaknya. Angkanya mencapai enam juta pada 6 Januari lalu.

Sementara itu, di Inggris, kasus Covid-19 terbaru turun menjadi sekitar 140 ribu per hari pada pekan lalu, setelah meroket menjadi lebih dari 200 ribu per hari awal tahun ini. Data dari Layanan Kesehatan Nasional (NHS) Inggris pekan ini juga menunjukkan penerimaan rumah sakit bagi pasien Covid-19 untuk orang dewasa mulai turun, dengan kasus yang menurun di semua kelompok umur.

Kevin McConway, profesor statistik terapan yang sudah purna tugas dari The Open University, Inggris, mengatakan bahwa sementara kasus Covid-19 masih meningkat di tempat-tempat seperti wilayah barat daya Inggris dan West Midlands, wabah mungkin telah memuncak di Ibu Kota London.

Angka tersebut telah menimbulkan harapan bahwa kedua negara akan mengalami hal serupa dengan apa yang terjadi di Afrika Selatan, di mana dalam rentang waktu sekitar satu bulan gelombang mencapai rekor tertinggi dan kemudian turun secara signifikan.

"Kita melihat penurunan kasus yang pasti di Inggris, tetapi saya ingin melihat angkanya jatuh lebih jauh sebelum kita tahu apakah hal yang terjadi di Afrika Selatan akan terjadi di sini," kata Paul Hunter, seorang profesor kedokteran di University of East Anglia, Inggris.

Dr David Heymann yang pernah memimpin Departemen Penyakit Menular Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut, Inggris merupakan negara yang paling dulu akan keluar dari pandemi. Ia menilai, di sana Covid-19 sudah semakin dekat untuk menjadi endemi.

Meski demikian, ada perbedaan antara Inggris di Afrika Selatan. Di antaranya adalah di Inggris, jumlah populasi orang tua lebih besar.

Mereka lebihi banyak menghabiskan waktu di dalam ruangan, secara khusus selama musim dingin berlangsung mulai Desember. Ini disebut meningkatkan potensi penyebaran wabah lebih besar, termasuk di negara lain dengan mayoritas populasi serupa.

Di sisi lain, keputusan otoritas Inggris untuk mengadopsi pembatasan minimal dapat memungkinkan wabah menyebar ke populasi dan merebak lebih cepat daripada negara-negara Eropa barat yang menerapkan kebijakan lebih ketat. Prancis, Spanyol, dan Italia, contohnya.

Di lain sisi, Shabir Mahdi, dekan ilmu kedokteran di  University of Witwatersrand, Afrika Selatan mengatakan, gelombang infeksi kasus omicron belum tentu akan lebih rendah di negara-negara Eropa yang melakukan pengetatan. Ia menduga, kasusnya hanya akan menyebar dalam periode waktu yang lebih lama.

Pada Selasa, WHO mengatakan, ada tujuh juta kasus Covid-19 di Eropa dalam satu pekan terakhir. WHO memprediksi setengah dari populasi di benua itu akan terinfeksi omicron dalam waktu sekitar delapan pekan mendatang.

Pada saat itu tiba, menurut Hunter dan pakar lainnya, dunia kemungkinan sudah melewati fase lonjakan kasus omicron. Ia memprediksi, naik-turunnya kasus masih akan terjadi.

"Namun, kemungkinan kita sudah keluar dari wabah omicron pada April mendatang," ujar Hunter.

Sembari menanti saat itu terjadi, banyaknya orang yang terinfeksi dapat membebani sistem kesehatan. Dr Prabhat Jha dari Pusat Penelitian Kesehatan Global di St Michael’s Hospital di Toronto mengingatkan risiko tersebut.

"Beberapa pekan ke depan akan menjadi brutal karena akan ada begitu banyak orang yang terinfeksi sehingga akan menyebar ke ICU," kata Jha.

Mokdad juga memberi memperingatkan untuk AS. Menurutnya, dua hingga tiga pekan ke depan akan menjadi masa yang sulit.

"Kita harus membuat keputusan sulit untuk membiarkan pekerja penting tertentu terus bekerja, meski kita tahu bahwa mereka bisa menularkan Covid-19," ujar Mokdad.

Meski demikian, Meyers mengatakan, omicron mungkin dapat dilihat sebagai titik balik pandemi suatu hari nanti. Ini berkat kekebalan yang diperoleh dari semua infeksi baru, bersama dengan pemakaian obat-obatan dan vaksinasi lanjutan, yang diprediksi dapat membuat virus corona jenis baru (SARS-CoV-2) menjadi sesuatu yang manusia dapat lebih mudah hidup berdampingan dengannya.

Infografis Gejala Omicron Muncul Setelah 48 Jam - (republika.co.id)

Pada akhir gelombang ini, menurut Meyers, orang yang terinfeksi oleh beberapa varian SARS-CoV-2 akan jauh lebih banyak. Di satu titik, omicron kemungkinan bisa menjadi transisi bagi Covid-19 dari ancaman bencana global menjadi penyakit yang jauh lebih mudah dikelola.

"Itu salah satu kemungkinan masa depan yang masuk akal, tetapi ada juga kemungkinan kemunculan varian baru yang jauh lebih buruk daripada omicron," ujar Meyers.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler