Anggota DPR Kritik Penggunaan Bahasa Daerah, Tepat Gak Sih?
Pernyataan Arteria Dahlan yang mengkritik penggunaan bahasa Sunda memancing kontroversi
Pernyataan anggota DPR Arteria Dahlan yang mengkritik penggunaan bahasa daerah dalam rapat formal, memancing reaksi yang keras khususnya dari masyarakat Jawa Barat. Pernyataan tersebut dinilai tidak pada tempatnya. Secara legal formal, tidak ada aturan yang dilanggar terkait penggunaan bahasa daerah dalam rapat sehingga sampai harus memecat penggunanya. Arteria juga dikritik karena mempermasalahkan sesuatu yang tidak relevan di saat masih banyak persoalan hukum lain yang lebih krusial untuk dipermasalahkan.
Sebelumnya, anggota DPR dari Fraksi Partai PDI Perjuangan meminta Jaksa Agung agar memecat oknum Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) yang berbahasa Sunda dalam rapat. Hal itu disampaikan dalam rapat Komisi III DPR dengan Jaksa Agung, Senin (17/1). Meski tak menyebut detail oknum yang dimaksud, pernyataan Arteria selaku anggota Komisi III DPR itu berbuntut panjang.
Kekesalan masyarakat Sunda semakin memuncak karena Arteria menolak meminta maaf. Wajar kalau kemudian protes keras semakin menguat dari berbagai elemen kelompok masyarakat Sunda, termasuk sampai melaporkan yang bersangkutan kepada pihak berwajib. Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dan sesama anggota DPR dari Partai PDI Perjuangan, sampai harus mengingatkan Arteria meminta maaf dan tidak bersikap arogan. Di jalanan utama kota Bandung bakan muncul spanduk bertuliskan 'Arteria Musuh Orang Sunda'.
Kalau belakangan kemudian Arteria meminta maaf, bisa dipastikan setelah adanya campur tangan dari partai. Karena jika dibiarkan, hal seperti ini akan terus menjadi bola liar yang mengancam posisi partai di wilayah pemilihan Jawa Barat.
Jawa Barat sendiri merupakan provinsi dengan jumlah pemilih terbanyak pada pemilu 2019 lalu. Pada pemilihan terakhir, PDI-P yang biasanya menjadi partai dengan perolehan suara tertinggi, harus puas berada pada posisi kedua, setelah dikalahkan oleh Partai Gerindra. Jika kasus Arteria ini semakin meluas, bisa dibayangkan bagaimana pengaruhnya pada perolehan suara PDI-P dalam pemilu mendatang.
Di sini kita bisa melihat betapa seharusnya para elit politik menjadi lebih berhati-hati dalam melontarkan pernyataan. Arteria sempat berdalih bahwa pernyataannya tak bermaksud mendiskreditkan bahasa Sunda. Ia mengaku hanya ingin memastikan tak ada Sunda Empire di kejaksaan. Agak menggelikan mengingat Sunda Empire bukanlah sebuah gerakan yang bisa menghancurkan tatanan kebangsaan kita. Sehingga wajar jika tuntutan agar Arteria meminta maaf tidak juga mereda.
Jika penggunaan bahasa daerah dianggap memicu disintegrasi, bisa dipastikan yang bersangkutan tidak memahami pentingnya pelestarian bahasa daerah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Entitas Indonesia sendiri muncul dari kumpulan berbagai suku, dengan latar belakang bahasa dan tradisi yang beragam.
Penggunaan bahasa daerah/bahasa asli (indigenous language) dalam forum resmi kenegaraan sebenarnya sudah mulai dilakukan di beberapa negara. Seperti di Australia, Selandia Baru dan Kanada. Langkah ini merupakan bagian dari upaya pemerintah melindungi bahasa asli dan bagian dari bentuk penghormatan terhadap suku asli Aborigin, Maori dan Indian. Biasanya para perwakilan dari suku asli tersebut menggunakan bahasa ibunya dalam rapat resmi.
Di Kanada, pada pertemuan Assembly of First Nations (AFN) tanggal 6 Desember 2016, PM Justin Trudeau mengumumkan bahwa pemerintahannya akan mengeluarkan hukum yang melasterikan bahasa asli yang semakin terancam keberadaannya. Pada 5 Februari 2019, pemerintah Kanada mengesahkan Indigenous Languages Act, yaitu aturan perundangan yang bertujuan untuk melindungi dan merevitalisasi bahasa asli di Kanada.
Bahasa adalah fondasi dari sebuah budaya. Bahasa tutur merupakan kumpulan kata-kata yang terkumpul dan berevolusi selama ribuan tahun dalam sebuah masyarakat. Bahasa adalah bagian yang menyatu dengan kebudayaan, tradisi dan warisan dari sebuah suku. Bahasa asli membuat orang tetap terhubung dengan budaya asalnya dan harus diwariskan dari generasi ke generasi
Diperkirakan 90 persen dari 6.700 bahasa yang digunakan di seluruh dunia saat ini akan hilang dalam 100 tahun ke depan. Dari jumlah itu, sekitar 40 persen, kira-kira 2.680 bahasa, terancam punah, karena penutur fasih terakhir mereka bertambah tua dan meninggal. Mayoritas bahasa ini berada di Asia, wilayah dengan keragaman bahasa paling banyak di dunia. Ketika sebuah bahasa mati, begitu juga dengan lagu, cerita, dan wawasan dari seluruh budaya. Menjaga bahasa asli tetap hidup berarti melestarikan sebuah kebudayaan secara keseluruhan.
Berdasarkan fakta ini, PBB PBB telah mencanangkan tahun 2019 sebagai Tahun Internasional Bahasa Pribumi (International Year of the Indigenous Language). Kampanye ini berupaya meningkatkan kesadaran akan peran bahasa dalam komunitas First Nation dan hubungannya dengan pendidikan, sejarah dan tradisi.
Di Indonesia sendiri, sudah dilakukan validasi vitalitas bahasa daerah oleh Kementerian Depdikbud. Dari 98 bahasa daerah yang telah divalidasi vitalitasnya tahun 2019, sebanyak 37 persen berstatus aman, sebanyak 19 persen stabil tetapi terancam punah, tiga persen mengalami kemunduran, 25 persen terancam punah, lima persen kritis, dan 11 persen sudah punah.
Bahasa daerah yang masih berstatus aman memang memiliki nilai persentase yang paling tinggi dibanding status yang lain. Namun, jika diamati jumlah ini relatif kecil karena sebesar 52 persen atau setara dengan 51 bahasa daerah yang tersebar di berbagai provinsi statusnya
mengarah kepada kepunahan. Dengan kata lain, bahasa-bahasa daerah tersebut perlu
ditindaklanjuti lebih jauh agar tidak menjadi punah.
Di Indonesia sendiri, penggunaan bahasa daerah sudah sudah dijamin oleh konstitusi. UUD 1945 Pasal 32 ayat 2 dengan tegas menyatakan bahwa Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional.
Menggunakan bahasa daerah sama sekali tidak ada hubungannya dengan proses disintegrasi atau bahkan mengancam keberadaan NKRI. Maka kemudian menjadi sangat menggelikan jika seorang anggota DPR yang seyogyanya paham aturan perundangan, malah mempersoalkan penggunaan bahasa daerah di saat masih banyak persoalan lain yang lebih mendesak untuk diselesaikan.