Penelitian Terbaru Ungkap Diskriminasi Ganggu Kesehatan Mental Muslim India
Muslim India menghadapi meningkatnya kebencian dan kekerasan setiap hari.
REPUBLIKA.CO.ID, NEW DELHI -- Sebuah makalah penelitian yang diterbitkan dalam Journal of Health Sciences menemukan Muslim memiliki risiko kecemasan yang lebih tinggi di India dibandingkan dengan umat Hindu. Dalam makalah juga disebutkan faktor-faktor seperti usia, pendidikan, paparan media, dan jenis kelamin secara signifikan mempengaruhi masalah kesehatan mental bagi Muslim India.
Seorang peneliti kesehatan mental dan aktivis pencegahan bunuh diri yang berbasis di New Delhi Pooja Priyamvada juga menjelaskan bagaimana faktor-faktor seperti jenis kelamin, kelas, dan agama memainkan peran utama dalam menentukan kesehatan mental seseorang. Selain itu, ketidakpercayaan antara umat Hindu dan Muslim, bersama-sama yang membentuk hampir 94 persen dari populasi negara itu, telah tumbuh semakin banyak, bahkan dapat dirasakan dalam interaksi pribadi.
“Selama pandemi, ketidakpercayaan memuncak karena pandemi terjadi tepat setelah gerakan Shaheen Bagh dan kerusuhan di Delhi. Peristiwa ini memperburuk ketidakpercayaan antara masyarakat dan ini kemudian tercermin dalam cara mereka menjangkau dan mengakses layanan kesehatan,” kata Priyamvada, dilansir dari TRT World, Jumat (21/1/2022).
Dia menjelaskan banyak teman Muslimnya yang selain menjadi sasaran karena identitas mereka. Mereka juga harus menghadapi meningkatnya kebencian setiap hari.
Seorang aktivis mahasiswa Muslim dari Uttar Pradesh Sharjeel Usmani menduga peran media arus utama menjadi penyebab merebaknya kebencian terhadap Muslim India. Karena melalui media itulah pemerintah India menyebarkan kebencian terhadap Muslim.
“Ini, pada gilirannya, mengarah pada tekanan mental yang lebih dalam,” kata Sharjeel Usmani.
Usmani menjelaskan masalah tekanan mental begitu kompleks di antara komunitas Muslim sehingga banyak orang bahkan tidak menyadari betapa akutnya mereka dipengaruhi oleh hal-hal di sekitar mereka. Kekerasan terhadap Muslim, ujarnya, seolah menjadi makanan setiap hari bagi Muslim India. Itulah mengapa banyak Muslim India yang sudah tidak lagi merasakan emosi apapun.
“Saya memiliki banyak orang yang mendatangi saya dan mengatakan mereka tidak merasakan apa-apa lagi. Tidak ada emosi apapun,” kata dia.
“(Lalu) saya akan bertanya kepada mereka apakah mereka mengalami semacam masalah kesehatan mental, dan hampir setengahnya akan menjawab ya. Setengah lainnya akan mengaku mereka bingung,” ungkap Usmani.
Awal 2022, Muslim di India dikejutkan oleh aplikasi Bulli Bai. Aplikasi ini menjajakan ratusan Muslim India dan melelangnya secara online.
Seorang jurnalis dan aktivis New Delhi Sania Ahmad masuk dalam aplikasi tersebut. Betapa kaget dan hancurnya ketika ia mengetahui fakta tersebut.
“Untuk beraktvitas setiap hari, dan mencoba dan menjalani kehidupan normal membutuhkan kekuatan super, mengingat fakta bahwa Anda harus menghadapi kebencian setiap hari,” ungkap Sania.
Namun, ini bukan pertama kalinya Sania Ahmad menjadi sasaran pelecehan online. Beberapa bulan sebelumnya, namanya juga muncul di aplikasi lain yang diposting di platform Github yang sama, Sulli Deals, di mana troll sayap kanan memposting gambar wanita Muslim dan melelangnya secara daring.
Insiden-insiden seperti itu telah berdampak buruk pada kesehatan mentalnya. “Kami telah melihat bagaimana pinggiran dan kebencian terhadap komunitas Muslim telah menjadi arus utama,” ujarnya.
Pengalaman serupa dialami Aiman Khan, aktivis perempuan Muslim yang namanya muncul dalam kasus 'Bulli Bai'. Karena pekerjaannya melibatkan berbicara dengan para penyintas kejahatan rasial dan merekam kesaksian mereka, menjadi tidak mungkin untuk melindungi dirinya dari trauma yang ditimbulkannya.
“Saya sudah menjalani terapi, tapi saya merasa terapi itu juga ada batasannya. Sebagian besar trauma begitu mengakar sehingga Anda bahkan tidak tahu banyak cara yang memengaruhi Anda dalam kehidupan sehari-hari,” katanya.
"Ketika kebencian menjadi begitu mengakar, bagaimana Anda menjelaskannya kepada terapis?" tambah Khan.
Pendiri dan terapis di Terapi Guftagu yang berbasis di Mumbai, Sadaf Vidha mengatakan masalah kepercayaan menjadi sangat penting ketika seseorang mencari terapi mental. Di mana seseorang akan mencari terapis wanita yang seiman dengan mereka untuk berkonsultasi karena mereka merasa akan lebih simpatik.
“Jadi orang-orang merasa ingin berkonsultasi dengan terapis Muslim. Sedangkan seorang Hindu kasta atas mungkin tidak dapat memahami posisi mereka, dan mungkin tidak memahami seberapa besar masalah ini,” terangnya.
“Situasi seperti itu mungkin muncul meskipun banyak umat Hindu bertindak sebagai sekutu Muslim dalam iklim politik saat ini. Banyak orang dari komunitas Hindu juga mencoba dan memahami rasa sakit yang dialami komunitas Muslim,” ujarnya.
Sadaf juga menyalahkan debat yang ditayangkan di saluran berita utama di India, di mana tema-tema Islamofobia yang terang-terangan disorot oleh para aktivis hak asasi manusia. “Kita berada pada saat dalam hidup ketika ada banyak ketidakpastian, kehilangan pekerjaan, kaum muda merasa kecewa, dan program TV semacam itu memberi mereka kebencian alih-alih jawaban atas masalah kelangsungan hidup yang mendesak,” tambahnya.
Menurut data yang dibagikan oleh Equality Labs, sebuah kelompok hak asasi manusia digital, tagar #CoronaJihad menjadi trending di Twitter dan dilihat oleh 165 juta orang. Banyak masyarakat India menuduh misionaris Islam Jamaah Tabligh yang menyebarkan Covid-19 di India pada Maret 2020.
Meskipun kebenaran statistik dapat diperdebatkan, insiden seperti itu dengan jelas menunjukkan bagaimana penggunaan istilah tersebut dapat memicu ketegangan politik dan meningkatkan permusuhan terhadap komunitas tertentu, terutama pada saat seluruh dunia sedang mengalami pandemi.
Efek lain dari konten Islamofobia yang disebarkan melalui berbagai media adalah dampaknya terhadap remaja Muslim, karena mereka juga terpapar konten tersebut dan berakhir dengan kebencian terhadap Muslim. “Remaja saat ini jauh lebih sadar akan identitas mereka daripada kita saat remaja karena remaja saat ini memiliki seluruh dunia di layar mereka,” kata Aiman.