Mengapa Ekonomi Pesantren Berpotensi dalam Pemulihan Ekonomi Nasional?
Pandemi Covid-19 tidak main-main menghantam dan memporak-porandakan perekonomian dunia,
Pandemi Covid-19 tidak main-main menghantam dan memporak-porandakan perekonomian dunia. Pada awalnya, pandemi terlihat sebagai wabah yang mengancam jiwa manusia tetapi dengan cepat juga berdampak pada aktivitas dan stabilitas ekonomi global yang tak pernah terbayang sebelumnya.
Bagai makan buah simalakama, niat hati ingin menyembuhkan dunia dari wabah, alih-alih wabah musnah malah petaka krisis yang datang. Sepanjang tahun 2020, ekonomi Indonesia melaju -2.07 persen yang merupakan angka terendah setelah krisis moneter tahun 1998. Kondisi tersebut merupakan dampak dari diberlakukannya kebijakan pembatasan pergerakan masyarakat yang mengakibatkan roda perekonomian terhambat. Pandemi Covid-19 juga mengakibatkan Indonesia 'turun kelas' dari negara dengan pendapatan menengah-atas menjadi negara dengan pendapatan menengah-bawah.
Mengutip Bank Indonesia, merebaknya Coronavirus Disease (Covid-19) menimbulkan dampak luar biasa (extraordinary) pada perekonomian global tahun 2020. Salah satu kebijakan pemerintah Indonesia dalam menekan laju penularan Coronavirus Disease (Covid-19) adalah membatasi mobilitas masyarakat. Di sisi lain, upaya pemerintah tersebut menimbulkan gejolak pada pasar keuangan dan aktivitas ekonomi.
PSBB atau Pembatasan Sosial Berskala Besar yang diberlakukan sejak awal pandemi tahun 2020 hingga semester I tahun 2021 berdampak pada kontraksi ekonomi nasional. Hal ini disebabkan oleh pembatasan secara ketat aktivitas perekonomian, terlebih lagi PHK besar-besaran di beberapa perusahaan karena tidak ada kegiatan produksi. Mengutip riset dari SMERU Institute, satu dari sepuluh orang di Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan nasional. Dampak negatif terhadap kondisi sosial-ekonomi akibat pandemi bisa saja menjadi lebih buruk tanpa adanya bantuan sosial dari pemerintah.
Pemerintah dalam PP 23/2020 telah mengeluarkan Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang merupakan salah satu rangkaian kegiatan untuk mengurangi dampak Covid-19 terhadap perekonomian. Melalui program PEN, pemerintah mengalokasikan dana 2.6 triliun rupiah untuk pesantren akibat terdampak pandemi Covid-19. Dana ini diperuntukkan untuk membangkitkan kembali aktivitas pembelajaran di pesantren, baik dari operasional, pemberian insentif untuk para guru (asatidz) dan pengasuh melalui skema bantuan sosial juga program pengembangan wirausaha di pesantren.
Menurut Waryono, Direktur PD Pontren, bantuan yang akan diterima oleh unit-unit usaha pesantren diperoleh dari sinergi Menko Perekonomian melalui Kementerian Perdagangan. Unit-unit usaha dalam lingkup pesantren nantinya akan direvitalisasi juga difungsikan sebagai unit layanan keuangan syariah. Rancangan pengembangan ini tak lepas dari rangkaian program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Hal tersebut merupakan angin segar bagi kewirausahaan pesantren untuk lebih tumbuh dan berkembang melayani masyarakat dalam lingkup pesantren terlebih lagi masyarakat luas di luar pesantren.
Mengapa pesantren? Potensi apa yang dimiliki pesantren hingga pemerintah rela mengucurkan dana yang begitu besar? Statistik Kementerian agama menyebutkan terdapat 1.845 pesantren yang memiliki potensi ekonomi di bidang koperasi, UKM dan ekonomi syariah. Sedangkan 1.479 pesantren memiliki potensi di bidang agribisnis, 1.141 pesantren berpotensi di bidang perkebunan, 1.053 pesantren berpotensi di bidang peternakan dan 797 pesantren di bidang olahraga.
Selebihnya, memiliki potensi di bidang vokasional, maritim dan kesehatan. Dari data tersebut, pesantren yang memiliki potensi di bidang koperasi, UKM dan ekonomi syariah adalah terbesar dibandingkan dengan bidang-bidang lainnya. Hal inilah mengapa Wakil Presiden RI, KH. Ma’ruf Amin menginginkan lebih banyak lagi santri yang berwirausaha, beliau menyebut dengan istilah santripreneur, sehingga pesantren dapat ikut berperan untuk kebangkitan ekonomi serta mendukung program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Optismisme pemerintah dalam mendukung pengembangan dan pemberdayaan ekonomi pesantren bukan tanpa alasan. Pesantren di Indonesia telah melintasi zaman, mampu bertahan di tengah guncangan ekonomi global dengan kehidupan sosial-ekonomi masyarakat yang dinamis. Menurut Menteri Agama, Gus Yaqut, setidaknya ada tiga unsur yang menjadikan pesantren potensial untuk kemandirian ekonomi umat. Pertama, jumlah santri yang tersebar di seluruh Indonesia.
Mengutip kata data, hingga semester ganjil 2020/2021 tercatat 30.495 pondok pesantren, 4.3 juta santri dan 474 ribu pengajar. Saat ini, Pondok Pesantren Sidogiri tenar menjadi contoh pesantren dengan pemberdayaan ekonomi berbasis koperasi dengan BMT mencapai 2000 unit yang tersebar luas di seluruh Indonesia melalui konektivitas alumni pondok. Bahkan hingga tahun 2021, BMT Sidogiri memiliki aset hingga 3 triliun rupiah. Teten Masduki, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah, mengatakan bahwa BMT Sidogiri layak menjadi role model bagi koperasi-koperasi lainnya.
Santri dan pesantren sejak lama berpengaruh terhadap kehidupan sosial-ekonomi. Clifford Geertz dalam penelitiannya pada santri pengusaha di Mojokuto tahun 1981, misalnya, menyimpulkan bahwa santri pengusaha lebih memiliki keahlian, keterampilan dan pengetahuan dagang daripada golongan abangan dan priyayi. Sulit dipungkiri bahwa nilai-nilai agama yang diajarkan di pesantren berkontribusi terhadap kemajuan ekonomi para santri.
Culture pesantren yang menjunjung tinggi etos kerja keras, sikap disiplin, hemat, jujur dan rasional membentuk pribadi santri menjadi pengusaha yang handal. Terlebih lagi menghadapi pandemi Covid-19, basis-basis karakter yang diajarkan di dalam pesantren sungguh diperlukan untuk membentuk santripreneur yang siap berkontribusi demi kebangkitan ekonomi. Bisa dibayangkan bagaimana pesatnya pertumbuhan ekonomi apabila seluruh santri di Indonesia dibekali oleh ilmu entrepreneur sejak dini sehingga dapat menjadi modal utama kemandirian ekonomi umat dan sumbangsih pemulihan ekonomi nasional.
Kedua, bridging bagi masyarakat sekitar pesantren. Komisioner Tinggi HAM PBB, Micheller Bachelet mengatakan, “participation is a right to help heal arms, bridge deep fractures and lead change that meets expectations, every society and every leader needs to engange the public’s participation fully and meaningfully.” Kalimat Bachelet sepertinya cocok sebagai deskripsi awal apa, mengapa dan bagaimana pesantren sejak lama berpengaruh terhadap culture bangsa ini, tak terkecuali dalam sosial-ekonomi. Sikap keterbukaan pesantren dimulai dari peran kiai pada masa-masa awal kemerdekaan yang banyak andil dalam menyusun dasar-dasar konstitusi negara dan agent of change dalam bidang ekonomi.
Secara historis, pesantren didirikan dari dan untuk masyarakat sebagai upaya transformasi sosial bagi masyarakat sekitar. Dakwah bil hal, merupakan istilah yang pas untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat oleh pesantren. Eksistensi pesantren kemudian tidak hanya dimaknai sebagai ‘tempat menimba ilmu agama’ saja tetapi juga lingkup untuk membentuk santri menjadi pribadi yang mandiri dan berdaya secara ekonomi. Tentu dengan upaya pengembangan kegiatan usaha bersama (cooperative) yang melibatkan masyarakat sekitar pesantren sehingga mempercepat pemulihan ekonomi nasional.
Ketiga, pesantren sebagai wadah pengelolaan zakat, wakaf dan dana sosial Islam. Pusat Kajian Strategis BAZNAS, meluncurkan buku bertajuk ‘Pemberdayaan ZIS berbasis Pesantren’. Dalam buku tersebut memuat sejarah pengelolaan zakat sampai model pemberdayaan zakat di pesantren. Beberapa potensi yang dimiliki oleh pesantren dalam pengelolaan ZIS adalah sumber daya manusia yang mencapai ribuan (baik santri maupun asatidz), kepemilikan lahan yang bisa sangat luas, kepemimpinan kiai yang karismatik dan dipercaya sebagai pimpinan tertinggi di pesantren dan potensi pasar yang luas, baik di dalam lingkup pesantren maupun masyarakat sekitar pesantren.
Dengan adanya pengelolaan ZIS dan dana sosial dapat mendorong peran pesantren untuk secara nyata dan merata memberdayakan ekonomi umat. Pemberdayaan ekonomi umat ini bermuara kepada pembangunan berkelanjutan serta pembangunan dengan rakyat sebagai titik central (people centered development approach). Harapannya, pemberdayaan ekonomi berbasis pesantren dapat mengurangi dampak resesi ekonomi yang menyentuh Indonesia diakibatkan oleh pandemi Covid-19 yang tak kunjung membaik sehingga pemulihan ekonomi nasional benar-benar dapat tercapai.