Rusia Tetapkan Navalny dan Sekutu Sebagai Teroris

Cap teroris kemungkinan ditujukan untuk menakut-nakuti orang Rusia biasa.

AP/Ivan Petrov
Seorang petugas polisi berbicara di telepon di dekat grafiti pemimpin oposisi Rusia Alexei Navalny yang dipenjara di St.Petersburg, Rusia, Rabu, 28 April 2021. Pihak berwenang Rusia telah menambahkan pemimpin oposisi yang dipenjara Alexei Navalny dan beberapa sekutu utamanya ke daftar teroris dan ekstremis negara itu pada Selasa (25/1/2022).
Rep: Dwina agustin Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Pihak berwenang Rusia telah menambahkan pemimpin oposisi yang dipenjara Alexei Navalny dan beberapa sekutu utamanya ke daftar teroris dan ekstremis negara itu pada Selasa (25/1/2022). Langkah terbaru ini merupakan tindakan keras multi-cabang terhadap pendukung oposisi, media independen, dan aktivis hak asasi manusia.


Pengkritik paling keras Presiden Rusia Vladimir Putin ity dan delapan sekutunya ditambahkan ke daftar oleh Layanan Pemantauan Keuangan Federal Rusia. Undang-undang mengharuskan rekening bank mereka yang ada dalam daftar dibekukan.

Langkah itu dilakukan hanya setahun setelah penangkapan Navalny, yang memicu gelombang protes massal terbesar di seluruh negeri selama bertahun-tahun. Politisi itu ditahan sekembalinya dari Jerman, usai menghabiskan waktu lima bulan untuk memulihkan diri dari keracunan racun saraf yang diduga dilakukan oleh Kremlin. Pihak berwenang Rusia telah membantah terlibat.

Navalny diperintahkan untuk menjalani dua setengah tahun penjara karena melanggar ketentuan hukuman percobaan yang berasal dari dugaan penipuan pada 2014. Pada bulan-bulan berikutnya, saudara Navalny, Oleg, dan banyak sekutu utamanya juga menghadapi tuntutan pidana.

Pihak berwenang melarang Foundation for Fighting Corruption milik Navalny dan jaringan kantor regional yang luas sebagai ekstremis. Ketetapan ini pun melumpuhkan operasi lembaga tersebut.

Pihak berwenang Rusia juga meningkatkan tekanan pada media independen dan kelompok hak asasi manusia dalam beberapa bulan terakhir. Puluhan telah dicap sebagai agen asing, sebutan yang menyiratkan pengawasan pemerintah tambahan dan konotasi merendahkan yang kuat yang mendiskreditkannya.

 

Beberapa dinyatakan tidak diinginkan atau label yang melarang organisasi di Rusia, ada pula yang dikenakan tuduhan memiliki hubungan dengan kelompok tidak diinginkan. Sedangkan beberapa dipaksa untuk ditutup atau dibubarkan untuk mencegah penuntutan lebih lanjut.

Pihak berwenang pada Selasa, mengajukan petisi kepada pengadilan agar Oleg Navalny menjalani hukuman percobaan satu tahun di penjara. Tahun lalu, Oleg bersama dengan sekutu utama saudaranya, dihukum karena melanggar peraturan virus corona atas protes untuk mendukung Navalny dan dijatuhi hukuman percobaan satu tahun.

Tindakan keras terhadap Alexei Navalny dan suara-suara berbeda pendapat lainnya di Rusia telah menimbulkan kemarahan di Barat. Juru bicara urusan luar negeri Uni Eropa Peter Stano menegaskan bahwa penetapan baru Rusia tidak dapat diterima. "Bahwa kita melihat ini sebagai represi berkelanjutan terhadap suara-suara kritis dalam masyarakat Rusia," katanya.

Salah satu tokoh yang mendapatkan cap teroris, Lyubov Sobol, mengatakan yakin keputusan untuk menambahkan Navalny, dirinya, dan sekutu lainnya ke daftar teroris dan ekstremis dibuat di Kremlin. Dia telah meninggalkan Rusia setelah menjalani dua persidangan atas tuduhan kriminal tahun lalu.

"Sama sekali tidak ada keraguan bahwa keputusan mengenai diri saya, Navalny, dan rekan-rekan terdekat saya, serta rekan-rekan saya dibuat di Kremlin dengan kontribusi pribadi oleh Vladimir Putin. Saya pikir dia memiliki semua hal yang melibatkan tim kami di bawah kendali khusus, dan itu bukan keputusan yang dibuat oleh pejabat berpangkat rendah," kata Sobol.

Sobol mengatakan langkah itu kemungkinan ditujukan untuk menakut-nakuti orang Rusia biasa. Dia bersumpah bahwa tim Navalny, yang anggota kuncinya telah meninggalkan Rusia, akan melanjutkan pekerjaan mereka.

sumber : AP
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler