Pengakuan Karyawan Pinjol Ilegal, Kerja tanpa Libur, Gaji Lumayan
Tergiur kerja di pinjol karena tidak membutuhkan banyak syarat.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Alfia, salah seorang karyawan perusahaan pinjaman online (pinjol) ilegal di rumah toko (ruko) Palladium Blok G7, Jalan Pulau Maju Bersama, PIK, Jakarta Utara mengaku dijanjikan gaji Rp 3 juta. Menurut dia, gaji itu lumayan. Padahal, Alfia bersama puluhan karyawan lainnya bekerja tanpa hari libur atau sepekan penuh.
"Tahu (ilegal). Lihat gaji gede saja sih dan diajak teman. Rp 3 juta," kata Alfia, saat digerebek pihak kepolisian pada Rabu (26/1) malam WIB.
Selain tergiur dengan gaji yang dianggapnya lumayan besar, Alfia juga mengaku mendaftar kerja di Pinjol ilegal tersebut tak membutuhkan persyaratan yang rumit. Apalagi, dirinya baru lulus dan tak memiliki pengalaman bekerja sebelumnya.
"Baru lulus dan tergiur mudah masuknya. Enggak ada syaratnya," kata warga Jajarta Utara itu.
Hal senada juga disampaikan oleh rekannya, Iwan. Pria berusia 19 tahun itu bekerja di perusahaan pinjol ilegal tersebut bertugas sebagai debt collector atau penagih hutang. Iwan mengaku baru bekerja tiga hari di perusahaan tersebut dan mengaku bingung harus kerja di mana lagi, jika tempat bekerja saat ini ditutup.
"Gegara Covid-190 nganggur sejak 2020 lalu. Sebelum kerja sebagi admin," ungkap Iwan.
Sebelumnya, sebanyak 98 karyawan dan 1 orang manajer perusahan pinjol ilegal diamankan jajaran Polda Metro Jaya di kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK) 2, Jakarta Utara, Rabu (26/1), malam. Dalam penggrebekan itu ditemukan fakta para karyawan bekerja sepakan penuh tanpa libur.
"Kegiatan yang dilakukan pinjol di tempat ini, ini tiada henti dalam satu pekan. Mereka beroperasi terus setiap hari mulai jam 9 pagi sampai jam 7 malam," kata Zulpan.
Menurut Zulpan, puluhan karyawan tersebut menangani 14 aplikasi pinjol ilegal. Dari 98 karyawan, sebanyak 48 orang bertugas sebagai tim reminderan atau pengingat tagihan nasabah. Mereka mengingatkan nasabah dua hari sebelum jatuh tempo melalui media komunikasi yang tersedia untuk segara membayar cicilan sebelum batas tempo.
"Kemudian sisanya, kata Zulpan, sebanyak 50 orang bertugas mengingatkan atas keterlambatan para nasabah," ungkap Zulpan.
Ironisnya lagi, kata Zulpan, mayoritas karyawan tersebut masih bertatus anak. Karena itu, ia meminta pengungkapan kasus ini dijadikan pembelajaran bagi orang tua agar lebih meningkatkan pengawasan terhadap anak-anaknya. Sehingga anak-anak yang masih di bawah umur tidak tersandung dengan persoalan ini
"Kita lihat yang banyak bekerja adalah anak-anak yang masih di bawah umur. Ini mereka memiliki kekurangan pengetahuan terkait dengan kegiatan yang dilaksanakan secara ilegal ini," kata Zulpan.