Simalakama Pendidikan di Tengah Pandemi
Bersekolah di masa pandemi bak makan buah simalakama.
Bersekolah di masa pandemi bak makan buah simalakama. Begini beresiko, begitu juga beresiko. Tapi, keputusan harus diambil sebab pendidikan harus terus berjalan.
Sejak jumlah kasus positif Covid-19 di beberapa daerah di Indonesia kembali meningkat pada awal tahun 2022, dunia pendidikan yang baru saja "normal" kembali dilanda kegalauan, bagaimana sebaiknya pembelajaran dilakukan? Menyikapi hal itu, Nadiem Makarim mengeluarkan Surat Edaran (SE) Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Diskresi Pelaksanaan Keputusan Bersama 4 Menteri tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran di Masa Pandemi Covid-19.
Sebetulnya, SE Mendikbudristek itu sudah cukup jelas mengatur syarat dan ketentuan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) Terbatas dan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Meski pemerintah mengatur ini dan itu, kecuali di daerah berstatus PPKM level 4, keputusan terakhir ada di tangan orang tua/wali peserta didik.
Baik dalam SKB 4 Menteri maupun SE Mendikbudristek, disebutkan bahwa orang tua/wali peserta didik berhak memilih model pembelajaran terbaik bagi anaknya, PTM Terbatas atau PJJ. Yang penting jangan sampai tidak sekolah sama sekali.
Dibalik tujuan baiknya, kebebasan yang diberikan kepada orang tua ini justu menjadi titik pangkal kebimbangan yang terjadi di tengah masyarakat. Sebagian orang tua khawatir akan kesehatan anaknya di tengah berkecamuknya Omnicorn. Tentu saja mereka setuju jika sekolah di-PJJ-kan.
Sebagian lain jengah dengan PJJ yang membuat siklus hidup di rumah berubah drastis. Di banyak daerah, praktik PJJ pada tingkat Sekolah Dasar (SD) adalah guru mengirimkan materi berupa perintah membaca buku tema dan perintah mengerjakan tugas kepada anak via grup WA. Demikian berulang selama PJJ berlangsung.
Penyelenggaraan pendidikan dengan cara demikian tentu sangat tidak efektif. PJJ bagi anak-anak SD di daerah sama dengan sekolah bagi orang tua mereka. Jangankan anak-anak memahami materi pelajaran, sebagian dari mereka bahkan tidak memiliki gawai atau komputer, fasilitas utama dalam PJJ. Kecuali itu, jaringan internet di daerah juga jauh dari kata high speed.
Dalam banyak hal, orang tua lah yang sebenarnya yang melaksanakan PJJ. Mereka menjadi murid sekaligus guru. Mereka harus menerima materi dari guru dan menerangjelaskannya kepada sang anak.
Lain halnya dengan sekolah-sekolah dengan “kualitas” sarana, pra sarana, dan SDM jempolan, PJJ bisa terselenggara jauh lebih baik dan efektif daripada di daerah-daerah. Tidak akan ada cerita siswa tak memiliki gawai atau gaptek. Mustahil ada kisah internet lemot seperti di kampung-kampung. Orang tua yang kaya raya juga tidak keberatan mengeluarkan kocek lebih untuk biaya les daring berbabis aplikasi bagi anaknya bila PJJ dianggap kurang memadai. Sementara itu, apa kabar orang tua siswa dengan penghasilan dibawah rata-rata?
Sudah menjadi rahasia umum bahwa pendidikan di Indonesia masih diwarnai banyak ketimpangan. “Kualitas” sekolah negeri dan swasta, tentu berbeda. Sekolah berbayar dan sekolah gratisan, jelas ada bedanya. Demikian pula sekolah di kota besar dan di daerah, kualitas SDM dan fasilitas penunjang pendidikannya pasti lain. Melihat variatifnya satuan pendidikan di Indonesia, ditambah penyebaran Omnicorn yang cenderung menumpuk di satu-dua daerah saja, kebijakan model pembelajaran serahkan saja kepada sekolah dan komite sekolahnya. Dua pihak ini yang paling tahu tentang pendidikan di lingkungan mereka.
Komite sekolah terdiri dari orang tua/wali peserta didik. PTM Terbatas atau PJJ, imbasnya langsung ke orang tua. Komite akan menimbang masak-masak model mana yang paling minim resiko untuk mereka dan, tentu saja, anak-anaknya.
Di sisi lain, penyelenggara sekolah tentu paling tahu kondisi sarana dan pra sarana sekolah, termasuk kualitas SDM yang mereka miliki. Mana yang lebih mungkin, PTM Terbatas atau PJJ? Seperti pada komite sekolah, kedua model pembelajaran ini akan langsung berimbas kepada penyelenggara sekolah. Kepala sekolah dan segenap manajemen tentu bijak dan masak memilih yang terbaik dan mungkin.
Dua pihak ini tentu harus mendengar pula subjek utama pendidikan: peserta didik. Apa yang mereka rasa lebih baik? Yang perlu diingat, pendidikan bukan hanya soal ilmu pengetahuan, melainkan kesehatan fisik dan mental peserta didik juga adalah bagian tak terpisah dari pendidikan.
Pemerintah cukup mengawasi dan memberi batas. Daerah dengan status PPKM level 1 wajib PTM. Daerah dengan status PPKM level 4 wajib PJJ. Daerah level 2 dan 3, serahkan kepada sekolah dan komitenya masing-masing. Kata “serahkan” ini tentu saja dengan pendampingan dari pemerintah daerah terkait. Sekolah yang merasa warganya cenderung sehat dan lebih dari 80%-nya telah divaksin, jangan ragu untuk menggelar PTM meski daerahnya berstatus PPKM level 2. Demikian sebaliknya.
Hal lain yang menjadi kewajiban pemerintah adalah mengedukasi masyarakat, termasuk orang tua/wali peserta didik dan penyelenggara sekolah, segala yang terkait Covid-19, khususnya varian terbaru yang kini sedang merajalela. Lagi-lagi, di daerah, masih banyak orang tua yang termakan hoaks terkait Covid-19 dan vaksin. Metode edukasi harus dipikirkan dengan serius dan matang. Pola edukasi dan komunikasi kepada masyarakat di desa tentu berbeda dengan masyarakat kota.
Bila masyarakat paham dengan benar hal ihwal Covid-19, kecemasan-kecemasan yang tidak perlu kiranya dapat dikikis. Waspada adalah senjata jitu penangkal segala wabah. Namun, kekhawatiran yang berlebihan juga bisa jadi senjata makan tuan yang lebih mematikan daripada virus itu sendiri.
#lombanulis #nasibptm