Jalan Panjang Perlawanan Warga Wadas dan Dugaan Motif Bisnis Penambangan Andesit
Warga Wadas tidak menolak Bendungan Bener tapi menolak penambangan batu andesit.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Wahyu Suryana, Silvy Diah Setiawan, Rizky Suryarandika
Rencana pembangunan bendungan di Kecamatan Bener diketahui sudah didengar warga sejak 2013, tepatnya di Desa Guntur. Anggota Divisi Penelitian LBH Yogyakarta, Kharisma Wardhatul mengatakan, saat itu warga juga mengetahui pryek bendungan akan mengambil batuan andesit dari Desa Wadas.
Pada 2015 ada pengeboran di dua lokasi Desa Wadas mengambil sampel tanah dan batu sebagai bahan uji di Balai Besar Wilayah Sungai Serayu Opak (BBWSSO). Pada 2017, BBWSSO menempelkan spanduk permohonan izin lingkungan di seluruh desa terdampak.
Yang mana, di spanduk tersebut tidak mencantumkan Desa Wadas dan tidak ditempel di Desa Wadas. Padahal, menempelkan spanduk permohonan izin lingkungan di seluruh desa sendiri merupakan salah satu prasyarat dari izin lingkungan.
November 2017, dua orang warga dan Kepala Desa Wadas diundang dan tiba-tiba disodorkan Amdal tanpa diberi informasi atau pemahaman apa pun mengenai isi Amdal itu. Padahal, itu seharusnya menjadi hak warga untuk mengetahui secara menyeluruh.
"Selain itu, proses Amdal seharusnya melibatkan masyarakat. Jika tiba-tiba diundang dan disodorkan Amdal-nya, berarti ada tahapan yang dilewati," kata Kharisma dalam Riset Dampak Sosial, Wadas Tolak Perampasan Ruang Hidup.
Pada Maret 2018, muncul SK Gubernur 660/1/19 2018 tentang Kelayakan Lingkungan Hidup dan SK 660/1/20 2018 tentang Izin Lingkungan. Dalam pengumuman Izin Lingkungan, tiba-tiba Desa Wadas sudah masuk dalam daftar pembebasan lahan.
April 2018, ada konsultasi publik dan warga diminta untuk tanda tangan, tapi ternyata tanda tangan tersebut digunakan sebagai prasyarat Izin Lingkungan. Pada Juni 2018, keluar SK 590/41 2018 tentang Persetujuan Penetapan Lokasi.
Pada 2020, Gubernur Jawa Tengah mengeluarkan SK 539/29 2020 tentang Perpanjangan atas Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Bendungan Bener. Yang mana, Desa Wadas masih tercantum sebagai proyek lokasi pengadaan tanah.
Pada 2021, kata Kharisma, bisa dibilang momen menentukan, karena pada 23 April warga yang sedang mengadand tiba-tiba diserang BBWSSO dan polisi. Ada sembilan warga luka-luka, 11 ditangkap, termasuk dua orang pendamping hukum dari LBH Yogyakarta.
Pada 2 Juni 2021, mereka sudah menyerahkan 13 ribulebih suara petisi untuk menghentikan rencana tambang. Namun, pada 7 Juni 2021 Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, ternyata tetap mengeluarkan IPL Pembaruan SK 290/20 2021.
"Yang mana, itu tentunya tidak sesuai prosedur. Jadi, dari LBH Yogyakarta dan warga Desa Wadas mengajukan gugatan PTUN pada 15 Juli 2021," ujar Kharisma.
Hingga kini, kondisi Desa Wadas masih jauh dari normal, apalagi nyaman, setelah penangkapan puluhan warga oleh aparat kepolisian pada pekan lalu. Salah seorang warga, S menuturkan, kedatangan polisi yang belum berhenti membuat masyarakat sangat takut dan resah untuk berkegiatan.
"Warga takut dan masih trauma sama kejadian 23 September 2021 (patroli polisi bersenjata lengkap) sama kejadian 8 Februari 2022 (penangkapan puluhan warga)," kata S kepada Republika, Senin (14/2/2022).
Kepala Divisi Advokasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Julian Duwi Prasetia Ahad (13/2/2022) mengatakan, warga di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah, masih mengalami trauma. Trauma ini dialami warga setelah adanya pengepungan oleh aparat gabungan TNI dan Polri dengan senjata lengkap di desa tersebut.
"Kondisi hari ini tentu mereka masih mengalami trauma yang luar biasa pascapengepungan selama tiga hari, kemudian di hari keempat masih didatangi dan itu memberikan trauma yang sangat dalam," kata Julian kepada Republika melalui sambungan telepon, Ahad (13/2/2022).
Saat ini, pihaknya berupaya untuk memulihkan kondisi psikologis masyarakat Wades. Pasalnya, hingga saat ini masih ada warga yang belum berani kembali ke Wadas.
Bahkan, kata Julian, ada yang sampai tidak berani keluar rumah. Selain itu, ada masyarakat yang bersembunyi jika mendengar suara kendaraan karena masih mengalami trauma.
"Fokus kami selain mengumpulkan data-data, bagaimana (berupaya) untuk memulihkan masyarakat Wadas ke kondisi yang semula, merehabilitasi. Itu yang utama dan urgent bagi kami karena banyak juga orang yang belum balik ke Wadas karena masih takut," ujarnya.
Per Ahad (13/2/2022) ini, Julian menyebut, sudah tidak ada aparat di desa tersebut. "Terakhir, saya jam 04.00 WIB pagi (dini hari) sudah tidak (melihat) ada aparat," jelas Julian.
Julian menjelaskan, warga sendiri tidak menolak pembangunan Proyek Bendungan Bener. Namun, warga menolak adanya penambangan material konstruksi bendungan tersebut di Desa Wadas.
Proyek bendungan itu membutuhkan pasokan batuan andesit sebagai material konstruksi. Namun, pemerintah mengambil kebutuhan material tersebut di Desa Wadas dengan melakukan penambangan batuan andesit.
Penolakan penambangan ini dilakukan mengingat dampak yang ditimbulkan, terutama terkait dampak lingkungan. Termasuk dampak kebencanaan yang dapat terjadi atas penambangan yang dilakukan.
"Wadas itu masuk wilayah yang warna kuning atau memiliki risiko yang tinggi terhadap kebencanaan. Justru, harusnya diperkuat mitigasi kebencanaannya, bukan memperlemah, malah (penambangan) justru memperkuat potensi bencananya," tambah Julian.
In Picture: Kondisi Anak-anak Wadas Pascapenangkapan Warga Wadas
Pakar hukum agraria UGM, Dr Rikardo Simarmata menilai, terdapat keanehan dari penambangan di Desa Wadas. Menurutnya, kegiatan pembangunan Bendungan Bener yang masuk kategori kepentingan umum, tapi dipaketkan dengan kegiatan pengambilan batu andesit.
Padahal, usaha pertambangan dan karena itu tidak masuk dalam kategori kepentingan umum. Ia menuturkan, pemaketan ini memang bisa membuat kegiatan pengukuran dalam rangka pengadaan tanah di lokasi tambang jadi legal.
"Tapi, apakah dengan hak pakai yang dimilikinya Kementerian PUPR berwenang mengambil bebatuan yang terdapat di bawah tanahnya," kata Rikardo, Jumat (11/2).
Ia berpendapat, boleh jadi strategi pemaketan dan penyatuan ini didesak status sebagai proyek strategis nasional (PSN). Umumnya, kalangan birokrat dan penegak hukum mempersepsikan PSN sesuatu yang tidak boleh ditawar dan harus direalisasikan.
Menurut Rikardo, dengan persepsi seperti itu dapat membuat peraturan perundangan mengenai PSN dan pelaksanaanya bersifat instrumental. Akibatnya, tidak lain melupakan prinsip-prinsip dan asas-asas yang dikenal dalam hukum pertanahan.
Terkait penyelesaian masalah oleh pemerintah dengan mengerahkan aparat keamanan dalam pembebasan lahan, Rikardo melihat, terlepas keabsahan kegiatan pengukuran, penanganan kelompok masyarakat yang menolaknya tidak boleh bersifat represif.
Maka itu, ia turut menyayangkan, bila sampai terjadi tindakan represi yang tidak sesuai ketentuan hukum acara pidana. Sebab, penyelesaian dengan upaya-upaya lain sangat bisa ditempuh untuk mencegah kelompok yang menolak pembebasan lahan.
"Misalnya, seperti menghadapi demonstran dengan cara memblokade yang tidak berakhir dengan kekerasan seperti penangkapan," ujar Rikardo.
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, menuding rencana penambangan batu andesit di Desa Wadas, Purworejo, Jawa Tengah ilegal. Menurutnya, Pemerintah hanya punya izin untuk pembangunan Bendungan Bener.
Isnur menyampaikan, kajian Amdal wajib dipenuhi dalam pembangunan proyek, termasuk tambang. Namun, ia tak menemukan dokumen mengenai Amdal dari rencana tambang andesit di Wadas.
"Amdalnya hanya pembangunan waduk. Tidak ada izin pertambangan. Padahal hukumnya beda. Pemerintah kok langgar aturannya sendiri," kata Isnur dalam webinar yang diadakan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) pada Sabtu (12/2/2022).
Isnur menyatakan warga Wadas sebenarnya tak keberatan dengan pembangunan Bendungan Bener. Warga Wadas, lanjut Isnur, hanya mempermasalahkan rencana penambangan andesit di wilayah mereka yang ditujukan demi pembangunan Bendungan.
"Pertambangan ini beda dengan waduk. Warga nggak nolak bangun waduk tapi jangan nambang disini. Ini dua objek yang berbeda, Amdalnya beda," ujar Isnur.
Isnur menilai penolakan warga terhadap tambang andesit terbilang wajar. Pasalnya kehadiran tambang akan merusak lingkungan tempat mereka menggantungkan hidup.
"Kenapa warga nolak? Sejak 2013 mereka dapat kabar ini. Batuan itu sumber mata air. Tanah mereka sangat subur. Wadas terkenal hasil pertaniannya. Ini akan hilang dengan hancurnya alam desa mereka," ucap Isnur.
Selain itu, Isnur menduga penambangan andesit ditujukan untuk kepentingan bisnis di luar pembangunan bendungan. Sebab, ia mendapati informasi jumlah batuan andesit yang ditambang melebihi angka kebutuhan bendungan.
"Target penambangan 8 juta ton tapi yang akan ditambang 40 juta ton. Masyarakat curiga ini untuk kepentingan eksploitasi sebesar-besarnya," ucap Isnur.
Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengaku tidak ada izin usaha pertambangan (IUP) untuk Desa Wadas, Kabupaten Purworejo, Jateng. Hal itu disampaikan Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, Sunindyo Suryo, pada Kamis (10/2).
"Bila benar usaha penambangan andesit di Desa Wadas belum berizin, seperti yang disampaikan Direktur Pembinaan Program Minerba Kementerian ESDM, harus dianggap sebagai perbuatan ilegal. Karena itu harus ditindak. Bukan malah didiamkan dan dicarikan pembenaran," kata Mulyanto dalam keterangan tertulisnya, Jumat (11/2/2022).