Invasi Rusia ke Ukraina Paksa China Putar Otak
China menolak mengutuk atau menyebut serangan Rusia ke Ukraina sebagai invasi
REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- China menolak mengutuk atau menyebut serangan Rusia ke Ukraina yang digelar sejak Kamis (24/2/2022) sebagai invasi. Langkah ini membawa Beijing terombang-ambing antara membatasi pukulan balik, tapi juga membela mitra lama yang semakin bermusuhan dengan Barat yang merupakan pasar terbesar China.
Sejak invasi digelar China berulang kali menyerukan kedua belah pihak untuk menggelar dialog. Sementara melalui telepon dengan pejabat-pejabat senior Eropa, Jumat (25/2/2022) lalu Menteri Luar Negeri Wang Yi menegaskan China menghormati kedaulatan semua negara, termasuk Ukraina.
Namun, tetap meminta keprihatinan Rusia pada ekspansi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) di Eropa Timur juga harus ditanggapi dengan tepat. Seusai Presiden Xi Jinping berbicara dengan Presiden Rusia Vladimir Putin melalui sambungan telepon, China mengatakan, Putin bersedia terlibat dalam dialog "tingkat tinggi" dengan Ukraina.
Tidak lama kemudian Kremlin mengatakan, Putin siap mengirim delegasi ke Minsk untuk berbicara dengan perwakilan Ukraina. Usulan ini disampaikan setelah invasi yang menurut sejumlah diplomat di Beijing mengejutkan China.
Sebab, Negeri Tirai Bambu tidak memerintahkan warganya di Ukraina hengkang dari negara itu sebelum serangan dimulai. Beijing juga berulang kali menuduh AS terlalu membesar-besarkan potensi serangan Rusia.
China pun dikritik atas sikap mereka pada invasi Rusia ke Ukraina. Beijing tidak mengungkapkan apakah Putin menyampaikan rencana serangan ke Ukraina. China mengatakan, Rusia merupakan kekuatan berdaulat yang tidak memerlukan izin dari mereka.
Kebijakan luar negeri China berdasarkan prinsip non-intervensi pada urusan negara lain. Di sisi lain, Beijing juga belum mengakui klaim Rusia di Semenanjung Krimea yang Moskow aneksasi pada 2014 lalu.
"Reaksi pertama mereka membatah adanya invasi mengejutkan kami," kata seorang diplomat Barat di Beijing yang menolak disebutkan namanya, Sabtu (26/2/2022).
"Ini benar-benar bertolak belakang dengan posisi lama mereka pada kedaulatan, integritas wilayah, non-intervensi," kata diplomat tersebut.
Beberapa jam sebelum pembukaan Olimpiade Musim Dingin 2022, Putin sempat bertemu dengan Xi. Pertemuan tiga pekan yang lalu itu menjadi sinyal kedua negara memutuskan memperluas kemitraan strategis mereka dalam menghadapi pengaruh Amerika Serikat (AS). Di pertemuan tersebut dua kepala negara juga mengatakan "tidak ada area 'terlarang' dalam kerja sama."
Ukraina merupakan salah satu mitra dagang terbesar China. Total nilai perdagangan dua arah kedua negara mencapai 19 miliar dolar AS. Hubungan diplomatik mereka pun baik-baik saja.
"Perasaan saya insting awal mereka mengikuti buku pedoman aneksasi Krimea 2014 yang cukup berhasil untuk mereka, di mana mereka dapat menghindari keributan dan agak sedikit mundur kebelakang," kata pengamat dari Mercator Institute for China Studies di Jerman, Helena Legarda.
Legarda mengatakan persaingan geopolitik saat ini jauh lebih sengit dibandingkan 2014. Perhatian dan pengawasan pada Cina juga lebih dalam.
"Orang-orang memantau lebih sesakma, dan 'kami tidak akan berpihak dan kami akan mundur ke belakang' sudah bukan lagi pilihan yang layak," katanya.
Hubungan Beijing dengan Amerika sudah memburuk selama beberapa tahun ke belakang. Pengamat menilai dukungan Cina pada Rusia dapat memperparah hubungan dengan negara Eropa Barat yang merupakan pasar ekspor terbesar mereka. Tapi, beberapa pakar yakin Cina akan mempertahankan ruang untuk bermanuver.
"Kami mengerti Rusia, tapi kami juga memiliki pertimbangan kami sendiri," kata profesor Shanghai International Studies University, Yang Cheng yang terkejut dengan invasi Rusia.
"Tapi, tidak akan menjadi kasus di mana hubungan kami dengan Barat tidak terdampak sama sekali," katanya.
Pada Jumat (25/2) malam waktu New York, Cina abstain dalam pemungutan suara resolusi Dewan Keamanan PBB yang akan menyesali invasi Rusia ke Ukraina. Para diplomat mengatakan negara Barat menilai abstainnya Cina merupakan kemenangan mereka.
Bulan lalu Xi baru saja memperingati 30 tahun hubungan dengan Ukraina. Ia memuji "dalamnya kepercayaan politik" antara kedua negara. Ukraina merupakan pusat megaproyek infrastruktur Belt and Road Initiative untuk mendekatkan Cina dengan Eropa.
Krisis Ukraina menimbulkan ketidakpastian bagi Cina yang sedang mengharapkan stabilitas. Xi diperkirakan akan kembali menjabat untuk periode ketiga pada musim semi gugur.
"Ini situasi yang sangat tidak menguntungkan di mana Cina yang tidak siap diseret oleh Rusia," kata pengamat politik asal Beijing Wu Qiang.