Membangun Ibu Kota Baru tak Bisa Model Bandung Bondowoso
Perencanaan yang sempurna diperlukan agar ibu kota baru bisa lebih memadai sebagai pusat pemerintahan bukan menjadi daerah replikasi masalah-masalah lama di ibu kota lama.
PEMINDAHAN ibu kota negara Republik Indonesia (RI) dari Jakarta ke daerah lain tidak bisa dilakukan secara tergesa-gesa. Langkah strategis ini perlu perencanaan wilayah, anggaran, model struktur ibu kota dan aspek terkait lainnya agar model ibu kota yang dibangun bisa komprehensif.
Membangun ibu kota baru tidak bisa menerapkan logika proyek legendaris Bandung Bondowoso (membuat 1.000 candi dalam waktu semalam), dengan prinsip cepat perencanaan dan selesai dalam tempo sesingkat-singkatnya. Perencanaan yang sempurna diperlukan agar ibu kota baru bisa lebih memadai sebagai pusat pemerintahan bukan menjadi daerah replikasi masalah-masalah lama di ibu kota saat ini.
Rektor Universitas Widya Mataram (UWM), Prof Dr Edy Suandi Hamid, MEc mengemukakan hal tersebut pada Diskusi Publik 1 “Pindah Ibu Kota Negara di Mata Cendekiawan Yogya”, yang diselenggarakan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Koordinator Wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa (1/3/2022). Edy menyatakan biaya pindah ibu kota sangat besar dan itu menjadi beban ekonomi nasional pada saat anggaran negara sedang defisit dan mengalami tekanan akibat pandemi Covid-19.
“Membangun ibu kota baru jangan seperti kasus pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung, yang dilaksanakan tergesa-gesa, perencanaan minimum, anggaran tidak cermat. Saya berpandangan ibu kota perlu dipindah dari Jakarta ke luar Jawa, tetapi jangan tergesa-gesa pelaksanaannya,” kata Edy Suandi Hamid.
Dalam kasus proyek kereta api direncanakan secara cepat, memakan biaya USD 6,07 miliar dolar atau setara Rp 86,5 triliun dari dana non-APBN. Praktiknya, biaya membengkak di tengah jalan menjadi sekitar 8 miliar dolar USD atau setara Rp 114, 24 triliun. Pemerintah yang semula melarang biaya kereta api cepat dengan APBN, kini berubah sikapnya membolehkan biaya dari APBN.
Presiden menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2021 sebagai perubahan atas Perpres Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Jakarta Bandung. Ketentuan yang berubah, proyek kereta cepat Jakarta-Bandung bisa dibiayai APBN. Dalam kasus rencana pindah ibu kota juga telah terjadi perubahan misalnya pemerintah mengindikasikan dana pemulihan ekonomi boleh dialihkan menjadi biaya pemindahan ibu kota.
Edy yang juga pakar ekonomi ini menyatakan logika pembangunan rel kereta api yang tidak cermat perlu menjadi pelajaran dalam skala besar berupa perencanaan anggaran, perencanaan pemindahan, dan pelaksanaan ibu kota kota mengingat biayanya sangat besar.
Dia memerkirakan biaya pindah ibu kota RI minimum memerlukan anggaran Rp 466 Triliun atau 32,14 miliar USD. Tetapi itu sekedar perkiraan. Kalau tidak diperhitungkan secara cermat, biayanya bisa membengkak berlipat seperti kasus membangun kereta api cepat. “Kalau itu terjadi, kita menghadapi masalah baru yang serius karena biaya pindah ibu kota itu sangat besar nilainya,” tandasnya.
Dibandingkan dengan negara-negara lain yang pindah ibu kota, perkiraan biaya pindah ibu kota RI sudah masuk kategori sangat besar nilai anggarannya. Sebut saja kasus pindah ibu kota Kazakhstan (1997) dari Almaty ke Astana biaya 9.000 juta USD, Malaysia (1999) dari Kuala Lumpur ke Putrajaya 8 miliar USD, Myanmar (2005) dari Yangon ke Naypydaw 6 miliar USD , Australia dari Melbourne ke Canberra 13.28 miliar USD.
Edy berpendapat, pindah ibu kota bukan soal political legacy atau warisan kebijakan politik yang monumental dari pemerintah saat ini. Apabila ibu kota sebatas harus pindah, tidak hanya beban ekonmi saja yang ditanggungj. Apabila konsep ibu kota baru mengacu model Jakarta saat ini yang menjadi pusat segala sektor, baik ekonomi, bisnis, politik dan pemerintahan, industri, maka ibu baru menjadi pusat pemindahan masalah lama dari dari ibu kota saat ini.
Dia menegaskan, pindah ibu kota memiliki alasan kuat, tetapi kapan dan di mana jangan tergesa-gesa ditetapkan. “Jangan jadi keputusan politik yang ceroboh,” tandas Edy.
Sedang Ketua Departemen Politik dan Pemerintah FISIPOL UGM, Dr Abdul Gafar Rahman berpendapat, problem ibu kota berawal dari konsep pemusatan ketika ibu kota diciptakan menjadi pusat segala urusan. Ketika ibu kota baru diciptakan dengan model yang sama dengan Jakarta, maka persoalan ibu kota lama itu pindah ke ibu kota baru.
“Pemusatan itu menjadi problem ibu kota. Ini berbeda dengan konsep di sejumlah negara seperti Australia pusat ibu kota di Cambera mengurus persoalan viskal, pertahanan negara, sedang urusan ekonimi, bisnis, industri, budaya dipusatkan di Melbourne,” kata Abdul Gafar Rahman.
Menurut dia, Ibu kota baru harus dirancang terpisah antara pusat pemerintah dan pusat kegiatan ekonomi. Ibu kota baru perlu dirancang terpisah antara zona pemusatan verikal atau pusat kekuasan, dan zona pemusatan horizontal atau sektor bisnis dan urusan sederajat lainnya. (*)