Presiden Soeharto Dikejar Wartawan: Ngapain Ikut, Wong Saya Mau Kencing
Wartawan Istana sering mengikuti ketika Presiden Soeharto blusukan.
CERITA ABAH: Artikel ini adalah warisan berupa tuturan dari sejarawan sekaligus wartawan senior (Almarhum) Alwi Shahab kepada kami dan kami tulis ulang. Selamat Menikmati.
KURUSETRA -- Salam Sedulur... Beberapa tahun lalu sejumlah wartawan senior yang pernah bertugas di Istana mengadakan reuni. Mereka pun ingin menulis kesan dan pengalaman selama bertugas di Istana, terutama berbagai peristiwa yang sejauh ini, karena situasi saat itu, tidak dilaporkan di media massa. Sayangnya belum ada yang membuatnya.
Casmo Tatilitofa, wartawan Istana sejak September 1979 telah menerbitkan buku catatan wartawan Istana. Judulnya Dari Pistol Gombyok Sampai Demo Dresden, dengan kata pengantar Parni Hadi yang bertugas di Istana pada 1977 – 1979.
BACA JUGA: Soeharto Marah Disebut Bodoh oleh Gus Dur
Wartawan Istana, yang sering diguraukan sebagai ‘wartawan keraton’ dan ‘wartawan kerajaan’, menurut Bung Casmo (secara bergurau) punya kebiasaan ‘buruk’. Praktik ‘buruk’ ini adalah mencontek laporan hasil liputan orang lain. Ada yang menitipkan tape recorder-nya pada teman lain yang meliput.
Itu masih mendingan karena ada yang meminta laporan yang sudah jadi, tinggal mengubah nama koran dan kode peliputnya. Parni Hadi, mengutip gurauan almarhum Adirsyah, menyebutnya sebagai wartawan ‘golkar’ atau ‘golongan karbon’.
BACA JUGA: Sujiwo Tejo: Babi Saja Buatan Tuhan Diharamkan, Apalagi Wayang Buatan Manusia
Maklum, kala itu laporan masih diketik mesin tulis manual, bukan komputer dengan disket. Ketika saya bertugas di Istana (1969-1977), Ibu Tien Soeharto pernah menghadiahkan tape recorder pada para wartawan Istana. ”Supaya kamu jangan sampai salah membuat berita, yaa!” pesan Ibu Tien.
Seperti ditulis Bung Casmo, ada wartawan yang usil mengganti nama pejabat tinggi negara dalam transkrip yang diserahkan kepada pencontek. Dan yang lebih runyam, kata ‘berani’ diganti menjadi ‘berahi.’
BACA JUGA: Humor Gus Dur: Dimaki Bodoh, Tukang Becak Bilang Kalau Bisa Baca Sudah Jadi Polisi
Kebiasaan konyol lainnya adalah memplonco wartawan baru. Saya sendiri pernah melakukannya pada rekan Indonesia Times yang baru ditugaskan di Istana.
Pada awal 1970-an, Pak Harto ‘buka praktik’ untuk mendapatkan masukan soal-soal korupsi dari mahasiswa. ‘Buka praktik’ ini untuk menanggapi demo-demo mahasiswa kala itu.
BACA JUGA: Sujiwo Tejo: Babi Saja Buatan Tuhan Diharamkan, Apalagi Wayang Buatan Manusia
Sehari sebelumnya, saya secara bergurau mengatakan bahwa besok presiden akan menerima Mochtar Lubis, Dewi Soekarno, dan Adnan Buyung Nasution. Beberapa rekan juga dengan bergurau menambahkan beberapa nama lainnya.
Besoknya, guyonan ini ternyata menjadi headline di Indonesia Times, ditulis dengan huruf-huruf besar. ”Masa saya tidak percaya dengan Pak Alwi,” kata wartawan tersebut dengan tenang, ketika saya tanyakan kenapa ia tidak mengecek lebih dulu.
BACA JUGA: Gus Dur Minta Didoakan Bapak Pemulung Tua, Wali Allah?
Casmo yang mendapat masukan dari seniornya menuliskan pengalaman saya saat menyertai kunjungan incognito Pak Harto ke Banten. Ceritanya: Begitu presiden turun dari jip dan berjalan menuju satu tempat, saya cepat meloncat dan mengejarnya.
”Kenapa ikut? Wong saya mau kencing kok,” kata presiden sambil tertawa.
Tapi bukan hanya saya yang kecele. Kameramen TVRI ikut mengejar Pak Harto sambil mengangkut kamera seberat 10 kg. Sayangnya, keakraban presiden dengan wartawan terputus sejak ‘insiden’ Kelapa Gading.
BACA JUGA: Budak-Budak Perempuan di Zaman Belanda Dipaksa Jadi PSK
Ketika menceritakan proyek rumah percontohan dengan bahan bangunan bernis (batu apung) yang dilaksanakan oleh salah satu yayasan yang dipimpinnya, tiba-tiba seorang wartawan memotong dengan pertanyaan, ”Ini semua biayanya dari mana, Pak?”
Rupanya Pak Harto kurang berkenan menerima pertanyaan ini. ”Duitnya mbahmu,” jawabnya ketus.
BACA JUGA: Cerita Soeharto Marah Jawab Pertanyaan Wartawan Soal Biaya Rumah: Duitnya Mbahmu
TONTON VIDEO PILIHAN UNTUK ANDA: