UEA tentang Gaza-Israel: Solusi 2 Negara Wujudkan Stabilitas Regional

UEA menegaskan posisi historis Palestina sebagai negara yang berdaulat.

AP Photo/Abed Hajjar
Warga Palestina berpelukan saat berjalan kaki pulang kembali menuju rumah mereka di Jalur Gaza Utara, Senin (27/1/2025). Ribuan warga Palestina untuk pertama kalinya kembali ke rumah mereka di wilayah Gaza Utara yang sebelumnya ditutup oleh Israel.
Red: Erdy Nasrul

REPUBLIKA.CO.ID, ABU DHABI -- Uni Emirat Arab menegaskan komitmennya untuk mendukung perdamaian dan stabilitas regional, serta posisi historis dan teguhnya untuk melindungi hak-hak warga Palestina. Negeri Palestina merupakan kearifan Bangsa Arab yang sudah ada sejak ribuan tahun lalu. Negara itu menjadi titik temu masyarakat dari berbagai kawasan untuk beribadah dan bermuamalah.

Baca Juga


Lebih jauh, UEA menggarisbawahi pentingnya menemukan cakrawala politik yang serius untuk menyelesaikan konflik Palestina-Israel dan mendirikan negara Palestina yang merdeka, yang mencerminkan keyakinan UEA bahwa stabilitas regional hanya dapat dicapai melalui solusi dua negara.

Dalam sebuah pernyataan, Kementerian Luar Negeri (MoFA) menegaskan kembali bahwa tantangan besar yang sedang berlangsung di kawasan Timur Tengah mengharuskan penguatan jembatan komunikasi dan dialog, memprioritaskan solusi diplomatik, dan mengintensifkan upaya regional dan internasional dalam mendukung proses perdamaian yang komprehensif.

UEA terus menyerukan kepada masyarakat internasional untuk mengintensifkan upaya untuk mengatasi akar penyebab konflik yang berkepanjangan ini. Juga mencapai solusi yang adil dan permanen untuk mengamankan perdamaian bagi Palestina dan Israel.

Kementerian tersebut lebih lanjut menegaskan penolakan tegasnya terhadap segala pelanggaran hak-hak Palestina yang tidak dapat dicabut, dan segala upaya pemindahan, dan menegaskan kembali pentingnya menghentikan segala kegiatan permukiman yang mengancam stabilitas regional dan merusak peluang bagi perdamaian dan koeksistensi.

Selain itu, Kementerian tersebut menegaskan kembali seruannya kepada masyarakat internasional, Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan Dewan Keamanan PBB untuk memenuhi tanggung jawab mereka guna mengakhiri praktik-praktik ilegal yang melanggar hukum internasional.

Kementerian menggarisbawahi pentingnya pencegahan perluasan skala konflik di kawasan tersebut, dengan menyoroti bahwa prioritas setelah gencatan senjata di Jalur Gaza harus difokuskan pada penghapusan ekstremisme, ketegangan, kekerasan, dan memberikan perlindungan bagi semua warga sipil, serta memfasilitasi pengiriman bantuan kemanusiaan yang mendesak, aman, dan berkelanjutan ke Jalur Gaza.

Tak bermoral

Rencana Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk merelokasi warga Palestina ke luar Jalur Gaza dan supaya AS menguasai wilayah tersebut merupakan wacana yang "tak bermoral", ucap Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Palestina.

Pelapor Khusus PBB Francesca Albanese, dalam konferensi pers di Kopenhagen, Denmark, pada Rabu, mengecam rencana tersebut yang justru dapat memperburuk konflik kawasan.

"(Rencana tersebut) melanggar hukum, tak bermoral, dan benar-benar tak bertanggung jawab ... apa yang dia usulkan benar-benar tak masuk akal," kata Albanese.

Wacana Trump tersebut, kata dia, merupakan provokasi "untuk melakukan pengusiran paksa yang merupakan sebuah kejahatan internasional."

Albanese kemudian mendesak komunitas internasional yang terdiri dari 193 negara berdaulat untuk bertindak lebih tegas dengan "memberi apa yang AS inginkan -- isolasi."

 


Ia pun menepis anggapan bahwa insentif ekonomi dapat menjadi jawaban terhadap konflik di Timur Tengah yang berlarut-larut.

"Sudah sangat lama komunitas internasional menangani isu Palestina sebagai hal yang bisa diselesaikan melalui pembangunan, insentif ekonomi, dan bantuan kemanusiaan," kata dia.

Meskipun mengakui pentingnya pembangunan ekonomi, pelapor khusus PBB itu menegaskan bahwa hak-hak dasar rakyat Palestina tak boleh sampai dikorbankan.

"Perdamaian melalui pembangunan ekonomi hanyalah harapan untuk menyerah dan tidak akan bermanfaat," ucap Albanese.

"Satu-satunya cara menghentikan kekerasan adalah untuk memberi peluang bagi perdamaian melalui kebebasan," kata dia, menegaskan.

 


Presiden Trump pada Selasa menyatakan bahwa "AS akan mengambil alih Jalur Gaza" usai sebelumnya mengusulkan relokasi permanen rakyat Palestina ke wilayah lain.

Dalam konferensi pers bersama ketua otoritas Israel Benjamin Netanyahu, Trump mengatakan AS akan menguasai Gaza dan "melucuti semua bom aktif berbahaya dan senjata-senjata lainnya, meratakan wilayah itu, dan membersihkan gedung-gedung yang hancur". AS juga akan mengembangkan ekonomi Gaza yang akan "menyediakan lapangan kerja tak terbatas dan perumahan warga", kata dia.

Trump mengatakan bahwa usai merelokasi warga Palestina ke luar Gaza, AS akan melakukan pembangunan ulang Gaza yang ia klaim dapat menjadikan wilayah kantong tersebut sebagai "Riviera di Timur Tengah".

Usulan Trump tersebut pun dikecam luas oleh pemimpin sejumlah negara, termasuk Turki, Yordania, dan Mesir, serta negara-negara Eropa seperti Inggris, Prancis, dan Jerman.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler