Pemerintah Didesak Bentuk Tim Independen Usut Penembakan Warga Sipil di Papua

Amnesty Indonesia desak pemerintah bentuk tim independen usut penembakan warga Papua.

ANTARA/Sevianto Pakiding
Petugas kepolisian dan petugas medis membawa kantong berisi jenazah teknisi tower telekomunikasi PT Palapa Timur Telematika (PTT) setibanya di RSUD Timika, Papua, Senin (7/3/2022). Tim Operasi Damai Cartenz 2022 berhasil mengevakuasi delapan korban penembakan yang dilakukan oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Kampung Jenggeran, Distrik Beoga Barat, Kabupaten Puncak, Papua pada Rabu (2/3/2022).
Rep: Rizky Suryarandika Red: Bilal Ramadhan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Amnesty International Indonesia merespons insiden penembakan delapan pekerja jaringan telekomunikasi di Distrik Beoga, Kabupaten Puncak, Papua. Amnesty Indonesia mendesak Pemerintah membentuk tim guna mengungkap kasus penyerangan itu.

Baca Juga


“Kami mengutuk semua serangan terhadap warga sipil di Papua, termasuk penembakan terhadap delapan pekerja jaringan telekomunikasi yang diklaim dilakukan oleh kelompok bersenjata TPNPB/OPM. Kami menyampaikan duka terdalam kepada keluarga korban," kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid dalam keterangan pers yang dikutip Republika, Senin (7/3/2022).

Usman menyatakan pembunuhan yang tidak sah oleh siapapun dan terhadap siapapun tidak pernah dapat dibenarkan. "Ini jelas merupakan penghinaan atas prinsip-prinsip hak asasi manusia, baik jika dilakukan oleh kelompok bersenjata maupun oleh aparat keamanan," lanjut Usman.

Selain itu, Wakil Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena menyampaikan urgensi pembentukkan tim independen. Tim ini menurutnya patut dibuat guna menginvestigasi berbagai serangan terhadap warga sipil.

“Kami mendesak pemerintah untuk segera membentuk tim independen untuk menginvestigasi insiden-insiden ini secara menyeluruh, transparan dan tidak berpihak. Terduga pelaku, baik itu anggota OPM, aparat keamanan, atau siapapun, harus dibawa ke pengadilan umum dalam proses yang adil dan tidak berakhir dengan hukuman mati," ucap Wirya.

Wirya juga kembali mendesak Pemerintah untuk mempertimbangkan pendekatan keamanan yang digunakan untuk merespon masalah di Papua. Ia mengklaim pendekatan tersebut sudah tak efektif lagi.

"Jumlah korban yang terus bertambah menunjukkan bahwa pendekatan ini tidak berhasil dan tidak bisa terus dipertahankan,” ucap Wirya.

Wirya berharap Pemerintah tak mengabaikan permintaan pembentukkan tim independen ini. "Ketidakmampuan pemerintah untuk menyelidiki dugaan pelanggaran HAM, mengidentifikasi, mengadili, menghukum para pelanggarnya, serta ketidakmampuan pemerintah untuk memberikan kompensasi bagi para korban atau keluarganya merupakan bentuk pelanggaran HAM tersendiri,” tutur Wirya.

Sebelumnya, delapan pekerja jaringan telekomunikasi tewas setelah diduga ditembak oleh anggota Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Distrik Beoga, Kabupaten Puncak, Papua pada 2 Maret.

Dalam hukum HAM internasional, Pasal 6 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU Nomor 12 Tahun 2005, telah menegaskan bahwa setiap individu memiliki hak untuk hidup dan tidak boleh ada seorang pun yang boleh dirampas hak hidupnya.

Dalam kerangka hukum nasional, hak untuk hidup dilindungi dalam Pasal 28A dan 28I UUD 1945 serta Pasal 9 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang intinya setiap orang berhak untuk hidup serta berhak untuk hidup dan mempertahankan hidup.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler