Rusia Rilis Daftar Negara tak Bersahabat, Indonesia tidak Masuk

Dalam dua kicauan terakhir, tidak ada kecaman Presiden ke Rusia.

Sergei Ilnitsky/Kolam renang melalui AP, File
FILE - Presiden Rusia Vladimir Putin, latar depan, dan Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov bersiap untuk bersulang pada upacara penerimaan kredensial dari duta besar asing di Kremlin di Moskow, Rusia, pada 11 April 2018. Dalam perannya selama hampir 18 tahun, Lavrov , 71, telah melihat hubungan dengan Barat bergeser dari hampir bersahabat menjadi permusuhan terbuka, jatuh ke titik terendah baru bencana dengan perang Rusia melawan Ukraina. Invasi tersebut mendorong Uni Eropa untuk membekukan aset Putin dan Lavrov, antara lain – pukulan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap kebanggaan Moskow.
Rep: Fergi Nadira/Teguh Firmansyah Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Rusia pada Senin (7/3/2022) waktu setempat menyetujui daftar negara dan wilayah asing yang melakukan tindakan tak bersahabat terhadap Rusia, perusahaan, dan warganya.  Daftar negara tersebut mencakup Amerika Serikat (AS), Kanada, negara bagian Uni Eropa, Inggris (termasuk Jersey, Anguilla, Kepulauan Virgin Britania Raya, Gibraltar), Ukraina, Montenegro, Swiss, Albania, Andorra, Islandia, Liechtenstein, Monako, dan Norwegia.

Kemudian ada San Marino, Makedonia Utara, dan juga Jepang, Korea Selatan, Australia, Mikronesia, Selandia Baru, Singapura, dan Taiwan.  Seperti dilansir TASS, Negara dan wilayah yang disebutkan dalam daftar tersebut memberlakukan atau bergabung dengan sanksi terhadap Rusia setelah dimulainya operasi militer khusus Angkatan Bersenjata Rusia di Ukraina.

Indonesia tidak masuk dalam daftar tersebut. Pemerintah Indonesia selama inisangat bersikap hati-hati dalam mengomentari perang tersebut. Berdasarkan catatan Republika.co.id, tidak ada kecaman langsung yang disampaikan Pemerintahan RI terhadap aksi Rusia. Indonesia memang menyetujui resolusi  PBB agar Rusia menghentikan serangan ke Ukraina. Tapi tidak ada secara spesifik sikap Indonesia dalam mengecam atau secara ekstrem ikut menjatuhkan sanksi.

Dalam pernyataan terakhir, Presiden Joko Widodo cenderung menyoroti kegagalan gencatan senjata di Ukraina.  Menurutnya, Ukraina tak hanya akan mendorong eskalasi konflik bersenjata, namun juga akan semakin menambah jumlah korban jiwa dan krisis kemanusiaan di Ukraina.

“Gagalnya kesepakatan gencatan senjata di Ukraina bukan hanya mendorong eskalasi konflik bersenjata tetapi semakin bertambahnya korban jiwa dan krisis kemanusian di Ukraina,” kata Jokowi melalui cuitannya di akun resmi Twitter yang diunggah pada pukul 12:12, Selasa (8/3/2022).

Baca Juga


Menurut dia, perang adalah persoalan ego yang melupakan sisi kemanusiaan dan hanya menonjolkan kepentingan dan kekuasaan. Lebih lanjut, Jokowi mengatakan, berdasarkan data dari UNHCR, setidaknya terdapat 1,2 juta orang yang harus mengungsi ke negara lain karena perang di Ukraina.

Ia meyakini jika krisis masih tetap berlanjut maka akan menyebabkan terjadinya krisis pengungsi yang terbesar sepanjang abad. Karena itu, ia mendorong semua pihak agar bersama-sama mencegah terjadinya hal ini.

Sebelumnya dalam kicauan terdahulu,  Jokowi memperingatkan bahwa perang hanya akan menyengsarakan umat manusia dan membahayakan dunia. “Stop perang. Perang itu menyengsarakan umat manusia dan membahayakan dunia,” ujarnya Kamis (24/3/2022).

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler