Studi: Dampak Covid-19 pada Otak Cukup Signifikan, Berpotensi Merusak
Studi terkini ungkap efek kasus ringan Covid-19 terhadap otak.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Studi terkini mengungkap efek kasus ringan Covid-19 terhadap otak. Temuan tersebut didapat dengan memindai ratusan pasien sebelum dan sesudah terinfeksi virus corona.
Penelitian menunjukkan dampak Covid-19 pada otak cukup signifikan dan berpotensi merusak. Akan tetapi, para ahli belum mengetahui apakah pengaruh itu juga menyebabkan defisit kognitif jangka panjang.
Selama ini efek neurologis Covid-19 sudah dijumpai, termasuk kabut otak, kelelahan, serta gangguan indra perasa dan penciuman. Hal yang belum diketahui adalah efek langsung infeksi SARS-CoV-2 pada jaringan otak.
Sebagian besar penelitian yang diterbitkan tentang efek SARS-CoV-2 pada otak memeriksa jaringan yang diambil dari pasien yang meninggal. Belum ada penelitian yang menawarkan analisis komparatif pencitraan otak sebelum dan sesudah terserang Covid-19. Studi baru dengan peserta dari negara Inggris yang diterbitkan dalam jurnal Nature ini menjadi pelopornya.
Para peneliti fokus pada data dari 401 subjek, dengan pencitraan otak yang dilakukan sebelum dan sesudah dinyatakan positif Covid-19. Pemindaian otak kedua rata-rata berlangsung 141 hari setelah diagnosis awal Covid-19.
Hasil dari pemindaian tersebut dibandingkan dengan kelompok kontrol yang terdiri dari 384 subjek. Setiap subjek kontrol dicocokkan dengan kelompok pertama dari aspek usia, jenis kelamin, etnis, dan jeda pemindaian.
"Analisis longitudinal kami mengungkapkan dampak signifikan dan merusak yang terkait dengan SARS-CoV-2," tulis para peneliti dalam studi baru, dikutip dari laman New Atlas, Sabtu (12/3/2022).
Dampak yang terdeteksi terutama pengaruh pada sistem limbik dan korteks penciuman. Ada perubahan ukuran difusi yang mewakili kerusakan jaringan di daerah fungsional yang terhubung dengan korteks piriform, tuberkel olfaktorius, dan nukleus olfaktorius anterior.
Efek lainnya yakni pengurangan ketebalan di gyrus parahippocampal kiri dan korteks orbitofrontal lateral pada peserta yang terinfeksi SARS-CoV-2. Dengan hasil itu, studi dianggap penting untuk mempelajari pandemi.
Akan tetapi, temuan menimbulkan banyak pertanyaan baru. Belum diketahui apakah perubahan otak yang terpantau bersifat permanen dan apakah dampak itu berkorelasi dengan perubahan perilaku atau kognitif yang bertahan lama.
Peneliti dari University of Edinburgh, Alan Carson, yang tidak terlibat dalam studi menyoroti sebagian besar perubahan otak yang dicatat di penelitian terkait dengan area yang mengatur indra penciuman. Kemungkinan besar plastisitas otak merespons dampak virus pada sel hidung.
Beberapa peneliti berpendapat bahwa efek sistemik yang persisten dan luas dari infeksi SARS-CoV-2 disebabkan aktivitas autoimun yang tersisa setelah infeksi akut. Sistem kekebalan tubuh bekerja berlebihan ketika virus menyerang dan peradangan mulai merusak organ lain.
Hipotesis lain menunjukkan virus dapat langsung menyusup ke otak dan merusak sel-sel otak. Pakar penciuman dan regenerasi sumsum tulang belakang, James St John, menyebutnya hipotesis yang masuk akal dan dapat mengarah pada kemungkinan Covid-19 mempercepat perkembangan penyakit neurodegeneratif seperti Alzheimer.
"Masih belum bisa dipastikan apakah virus SARS-CoV-2 bisa masuk ke otak, tapi virus bisa menghancurkan sel-sel saraf yang bertanggung jawab atas indra penciuman, kemudian memicu serangkaian kejadian yang mengarah pada patologi lebih lanjut di otak," kata St John.