Seberapa Dekat Indonesia Menuju Endemi Covid-19?

Pada fase endemi, penggunaan masker disarankan tetap diwajibkan.

ANTARA/Aprillio Akbar
Seorang warga berjalan di jalur pedestrian Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta, Senin (28/2/2022). Pemerintah tengah menyusun strategi untuk mengubah status pandemi COVID-19 menjadi endemi dengan mempertimbangkan dan memperhatikan berbagai pendekatan dari sisi sains, kesehatan, sosial, budaya, dan ekonomi.
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rr Laeny Sulistyawati, Dian Fath Risalah, Antara

Ketua Pokja Pengurus Pusat Persatuan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Erlina Burhan menilai Indonesia belum bisa mengubah status pandemi Covid-19 menjadi endemi. Sebab, kasus harian Covid-19 masih di atas 10 ribu hingga per Kamis (17/3/2022).

"Kalau melihat jumlah kasus harian, kita (Indonesia) belum dekat-dekat banget ke endemi. Kasus baru harian Covid-19 Indonesia selama Oktober 2021 hingga November 2021 di bawah 2 ribuan dan sekarang masih di atas 10 ribuan," katanya.

Ia mengakui Covid-19 varian Omicron lebih ringan dibandingkan Delta. Namun kalau melihat jumlah kasus Covid-19, Erlina menilai Indonesia belum mendekati pergantian status ke endemi. Erlina menambahkan, kalau kasus Covid-19 bisa diturunkan dan tidak ada dampak untuk kesehatan maka bisa dianggap endemi. Kemudian, dia melanjutkan, pelonggaran protokol kesehatan (prokes) bisa dilakukan lebih luas lagi.

"Tetapi untuk saat ini saya merasa belum sampai fase endemi. Bisa saja menuju ke sana asalkan pemerintah dan masyarakat sama-sama berkolaborasi untuk perbaikan upaya untuk pencegahan kenaikan kasus dan penularan kasus Covid-19," ujarnya.

Kalau upaya ini bisa dilakukan, dia melanjutkan, kasus Covid-19 bisa semakin melandai. Kemudian suatu hari Covid-19 akan menjadi sakit biasa seperti flu atau penyakit lainnya ini yang disebut dengan endemi. Akhirnya masyarakat terbiasa dengan kondisi ini dan tidak lagi bermasalah. Selain itu, warga juga terbiasa untuk mengantisipasi kalau terjadi penularan virus ini.

Karena kasus Covid-19 masih dalam kategori belum aman, Erlina mengatakan pelonggaran protokol kesehatan (prokes) saat ini belum bisa dilakukan secara meluas. Pelonggaran prokes hanya bisa dilakukan di kota/kabupaten yang mengalami sedikit kasus Covid-19 atau melandai.

"Kasus Covid-19 harian Indonesia (secara nasional) saat ini di kisaran lebih dari 10 ribu. Melihat jumlah kasus seperti ini, tentunya pelonggaran prokes tidak bisa diterapkan secara luas dan umum," ujarnya.

Pelonggaran prokes disarankan dilakukan bertahap di daerah yang rendah kasus Covid-19 lebih dulu. Misalnya di provinsi yang jumlah kasusnya melandai di bawah 1.000 maka Erlina setuju ada pelonggaran prokes.

Kendati demikian, ia meminta pakai masker tetap harus dilakukan. Sebab, ia mengingatkan pakai masker efektif mencegah penularan virus dan sangat mudah dilakukan.

Sebaliknya kalau di suatu kota masih tinggi kasus Covid-19 nya maka sebaiknya protokol kesehatan tetap ketat dilakukan. Apalagi, ia mengingatkan varian Omicron yang sangat mudah menular. Sehingga, pencegahan penularan tentu sangat penting.

Erlina mengingatkan, ketika seseorang sakit atau tak sakit Covid-19 adalah masalah pribadi. Ketika terinfeksi virus ini maka orang yang terapapar merasakan gejala seperti pusing, sesak atau gejala lain yang membuat tak nyaman. Jadi, dia melanjutkan, kalau seseorang tak ingin sakit seharusnya melaksanakan segala macam pencegahan.

Selain kasus harian Covid-19 yang melandai, Erlina menilai pelonggaran prokes bisa dilakukan kalau cakupan vaksinasi tinggi, kemudian adanya kepatuhan masyarakat juga ikut menjadi indikator. Kalau ketiga ini dipenuhi, dia melanjutkan, maka masuk akal dilakukan pelonggaran prokes dilakukan karena masyarakat harus melaksanakan kegiatan rutinitas.

"Tetapi kalau indikator itu belum terpenuhi, kita tentu tak ingin seperti negara-negara yang melonggarkan prokes kemudian naik lagi kasusnya dan bermasalah lagi," katanya.




Baca Juga


Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyebut pandemi Covid-19 dan endemi hanya berbeda nama saja. Virusnya, dikatakannya, masih tetap ada.

"Kalau buat saya pribadi ya, sebagai orang yang di kesehatannya baru. Endemi sama pandemi hanya beda nama. Tapi penyakitnya tetap ada, virusnya tetap ada," kata Budi Gunadi seusai seminar "Recover Together, Recover Stronger: G20 dan Agenda Strategis Indonesia" di Balai Senat Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Kamis (17/3/2022).

Selain itu, lanjut Gunadi, penularan Covid-19 juga diperkirakan akan tetap terjadi meski derajat keparahannya lebih rendah dibandingkan saat pandemi. Menurut dia, fase endemi akan tercapai jika masyarakat sudah memahami mengenai risiko penyakitnya serta sudah melakukan protokol kesehatan secara sadar tanpa dipaksa pemerintah.

"Saya bilang misalnya contoh DBD. Ini masyarakat sudah tahu itu lagi DBD maka disemprotlah, jangan banyak jentik-jentik deh, kalau terjangkit panasnya naik turun, sudah tahu dia cek darahnya. Kalau kena langsung masuk rumah sakit tanpa ada pemaksaan intervensi atau dorongan dari pemerintah," ujar Gunadi.

Ia mengatakan Presiden Joko  Widodo telah meminta mempersiapkan skenario untuk mengubah pandemi Covid-19 menjadi endemi. Seluruh fase pandemi di dunia, kata dia, pada akhirnya selalu menjadi endemi hanya saja membutuhkam persiapan.

Merujuk sejarah pandemi di dunia, menurut dia, selalu membutuhkan banyak faktor pertimbangan untuk mengubah menjadi endemi. "Nggak pernah faktor kesehatan saja. Ada faktor sosial, politik, ekonomi, budaya yang menjadi pertimbangan baik seorang pimpinan negara maupun dunia mengubah itu menjadi pandemi sebagai endemi," kata dia.

Sementara itu, ia menuturkan sesuai masukan para epidemiolog, laju penularan atau reproduction rate (Rt) harus ditekan di bawah satu dalam rentang tiga hingga enam bulan, serta cakupan vaksinasi dua dosis minimal mencapai 70 persen dari populasi. "Kalau itu sudah terjadi nah itu dari sisi kesehatan sudah masuk kondisi yang relatif aman. Kalau misalnya nanti mau di-declare sebagai endemi," kata dia.

Meski demikian, menurut dia, perlu diperhatikan juga bahwa organisasi kesehatan dunia (WHO) hingga kini belum menyatakan situasi saat ini sebagai endemi. "Walaupun di negara lain seperti Inggris, Denmark itu mengurangi protokol kesehatannya tapi mereka secara resmi belum declare ini sebagai endemi," ucap Gunadi.

Hari ini, tercatat kasus aktif Covid-19 kembali turun dan sudah menyentuh angka 262.477 atau turun 17.492 setelah sehari sebelumnya Rabu (16/3/2022) sempat di posisi 279.969. Kasus aktif adalah jumlah orang yang positif Covid-19 dan masih menjalani isolasi atau perawatan di rumah sakit.

Penurunan kasus aktif ini konsisten sejak Senin (28/2) dari 569.736 hingga kini mulai menyentuh angka 200 ribu. Untuk angka kasus konfirmasi harian hari tercatat sebanyak 11.532. Sementara konfirmasi kematian hari ini, tercatat 237 orang meninggal, total jumlah kematian karena Covid-19 sebanyak 153.212.

Sementara itu, 5.523.392 orang telah dinyatakan sembuh dari Covid-19, setelah bertambah 28.787 pada hari ini. Adapun, jumlah spesimen yang diperiksa sebanyak 194.026.

Sekretaris Direktorat Jenderal Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan, program vaksinasi menjadi kunci sukses untuk menangani pandemi Covid-19. Vaksinasi lengkap dua dosis harus dikejar secepatnya untuk mencapai kekebalan kelompok kepada lebih dari 70 persen total populasi Indonesia.

Saat ini cakupan vaksinasi dosis 1 telah diberikan kepada 194.136.128 penduduk. Sedangkan cakupan vaksinasi dosis 2 152.729.588 penduduk. Sementara itu vaksinasi dosis 3 sudah mencakup 15.474.618 penduduk.

“Cakupan vaksinasi yang luas dan dalam waktu yang cepat sangat penting untuk melindungi golongan rentan seperti lansia dan yang memiliki komorbid. Saya imbau seluruh masyarakat untuk saat ini segera melengkapi vaksinasi primer dua dosis dan ditambah dengan booster apabila sudah tiba waktunya,” ujar Nadia.


Tiga Skenario Pandemi Menuju Endemi - (infografis republika)

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler