Perjalanan Satu Bulan Perang Ukraina
Perang Rusia di Ukraina sudah berjalan selama satu bulan
REPUBLIKA.CO.ID, Perang Rusia di Ukraina sudah berjalan selama satu bulan, menewaskan ribuan orang, mengubah kota-kota menjadi reruntuhan dan memaksa jutaan lainnya mengungsi. Perjalanan perang di Ukraina dimulai sejak Rusia menumpuk pasukannya di sepanjang perbatasan antar kedua negara pada awal tahun 2021. Moskow sempat menarik pasukan pada bulan April untuk membuka jalan pertemuan antara Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden dan Presiden Rusia Vladimir Putin.
Namun pertemuan itu gagal memberikan hasil yang berarti sehingga tidak mampu meredakan ketegangan AS-Rusia. Sejak itu Rusia kembali menumpuk pasukannya di perbatasan-perbatasan Ukraina dan sampai akhir tahun lalu jumlahnya mencapai 150 ribu. Moskow membantah berencana menggelar serangan ke Ukraina dengan mengatakan tuduhan itu merupakan upaya mendiskreditkan Rusia.
Pada saat yang sama Rusia juga meminta AS dan sekutu-sekutunya di Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) menolak pengajuan keanggotaan Ukraina. Moskow juga meminta NATO mundur dari Eropa Timur. Negara-negara Barat menolak tuntutan Rusia tersebut.
Pada 21 Februari 2022 Putin mulai meningkatkan eskalasi dengan mengakui dua wilayah di Ukraina Timur sebagai negara merdeka. Rusia mendukung pasukan separatis yang memerangi pasukan Ukraina di dua wilayah itu sejak tahun 2014.
Invasi dimulai tepat satu bulan yang lalu, 24 Februari 2022. Putin menyebutnya sebagai operasi militer khusus yang bertujuan demiliterisasi Ukraina dan menangkap yang mereka sebut nasionalis Nazi. Militer Rusia mulai menggelar serangan ke fasilitas militer dan infrastruktur penting Ukraina.
Pasukan Rusia masuk ke Ukraina melalui Crimea di selatan, lewat perbatasan timur dan sekutu Moskow yakni Belarusia yang berbatasan dengan Ukraina di sebelah utara. Putin mengatakan Rusia tidak memiliki pilihan selain bertindak setelah Washington dan sekutu-sekutunya mengabaikan tuntutan jaminan keamanan Rusia.
Pemimpin-pemimpin Barat membantah klaim tersebut dengan mengatakan Putin hanya mencari alasan untuk menggelar serangan. Militer Rusia pun merangsek maju ke Ibukota Kiev yang berlokasi sekitar 75 kilometer sebelah selatan perbatasan Belarusia, kota terbesar kedua Ukraina yakni Kharkiv di sebelah timur dan kota-kota Laut Azov dan Laut Hitam di selatan.
Rusia juga selama berpekan-pekan mengepung rapat kota pelabuhan Mariupol. Kota itu pun menjadi simbol penderitaan rakyat Ukraina. Ribuan orang meninggalkan kota tersebut, memicu gelombang pengungsi yang PBB perkirakan sekitar 3,5 juta orang.
Rusia mengklaim hanya mengincar fasilitas-fasilitas militer tapi terbukti serangan udara dan rudal mereka menghancurkan pemukiman warga, sekolah dan rumah sakit di seluruh Ukraina.
Sekutu-sekutu Barat merespon invasi Rusia dengan cepat melalui sanksi-sanksi ekonomi. Gelombang sanksi membekukan hampir 640 miliar dolar AS cadangan mata uang Rusia, memotong akses bank-bank Rusia ke sistem perdagangan internasional SWIFT, melarang Moskow mendapat dolar dan euro dalam bentuk tunai dan mengincar berbagai sektor ekonomi Rusia dengan memberlakukan larangan perdagangan yang ketat.
Perusahaan-perusahaan multinasional juga hengkang dari pasar Rusia. Pihak berwenang Rusia meresponnya dengan memberlakukan peraturan ketat pada transaksi mata uang dan pasar saham.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy terus mendesak tindakan yang lebih tegas untuk menghentikan Rusia. Ia masih mendesak AS dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) untuk menyatakan zona larangan terbang di atas Ukraina. Namun Barat menolaknya karena dikhawatirkan dapat memicu konfrontasi langsung dengan Rusia dan memicu konflik global. Zelenskyy juga meminta negara-negara Barat menyediakan pesawat tempur dan sistem pertahanan udara jarak jauh. Rusia memperingatkan Barat untuk tidak memenuhi permintaan tersebut.
Pembahasan kemungkinan pengiriman pesawat tempur era Uni Soviet dan senjata melalui Eropa Timur ke Ukraina mengalami kebuntuan. Ukraina juga meminta AS dan Uni Eropa meningkatkan sanksinya dengan memasukan sektor minyak dan gas Rusia. Namun langkah itu juga belum mengalami kemajuaan pasalnya banyak negara anggota Uni Eropa yang kebutuhan energinya bergantung pada pasokan Rusia.
Di sisi lainnya tampaknya invasi tidak berjalan sesuai ekspektasi Putin. Setelah menguasai daerah pinggir Kiev di hari pertama invasi pasukan Rusia belum berhasil merebut ibu kota karena Ukraina memberikan perlawanan sengit. Rusia juga gagal mengusai penuh ruang udara Ukraina. Pasukan Rusia hanya mendapat kemajuan sedikit di daerah yang dikuasai pemberontak.
Pada awal Maret lalu militer Rusia mengatakan mereka telah kehilangan 498 prajurit tapi tidak pernah lagi mengumumkan jumlah pasukannya mereka yang gugur. Sementara Pada Rabu (23/3/2022) lalu NATO memprediksi sudah sekitar 15 ribu prajurit rusia yang tewas dalam pertempuran yang berlangsung selama empat pekan.
Walaupun didera penurunan nilai rubel dan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok tapi jajak pendapat menunjukkan Rusia mendukung Putin. Pengamat menilai hal itu disebabkan masifnya propaganda yang dilancarkan Kremlin selama ini.
Pada awal pekan ini Zelenskyy mengatakan Ukraina siap membahas status netral dan jaminan keamanan untuk menghentikan agresi lebih lanjut. Tapi ia menurutnya status Crimea dan wilayah yang dikuasai separatis baru dapat didiskusikan setelah gencatan senjata dan Rusia menarik pasukannya.
Sementara itu untuk membalas negara-negara yang dianggap "tidak bersahabat" dengan Rusia. Putin mengumumkan Moskow hanya akan terima pembayaran gas dengan rubel tidak dengan euro atau dolar AS.
Keputusan ini membuat sejumlah negara Eropa mempertimbangkan untuk mendapatkan gas dari Qatar. Pada Selasa (21/3) lalu Oilprice.com melaporkan Jerman akan mulai mengambil gas dari Qatar setelah negara-negara Teluk meningkatkan paskannya.
Tak hanya itu, keputusan Putin ini menjadi salah satu dari beberapa cara yang dapat mengancam supremasi dolar AS. Arab Saudi juga dikabarkan akan menerima pembayaran minyak dari Cina dengan yuan.