Trauma Warga Gaza di Ukraina Bangkit Kembali Akibat Invasi Rusia

Menurut Kemenlu Palestina, sekitar 4.000 warga Palestina tinggal di Ukraina.

EPA-EFE/STATE EMERGENCY SERVICE UKRAINE
Sebuah foto selebaran yang dirilis oleh layanan pers Layanan Darurat Negara Ukraina pada 30 Maret 2022 menunjukkan layanan darurat melakukan operasi pencarian dan penyelamatan di gedung administrasi negara regional yang rusak di Mykolaiv, Ukraina. Trauma Warga Gaza di Ukraina Bangkit Kembali Akibat Invasi Rusia
Rep: Mabruroh Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Trauma berulang kembali dialami warga Gaza, Palestina yang tinggal di Ukraina. Suara bom, suara pesawat, kecemasan, dan ketakutan yang dialami semasa kecil kembali harus dirasakan ketika hal serupa terjadi di Ukraina.

Baca Juga


Seorang warga Palestina dari Jalur Gaza, Samar Atia, mengaku telah tinggal di Ukraina selama empat tahun sebelum invasi Rusia. Ia belajar teknik di Ukraina. Dia pindah ke Ukraina karena ingin mencoba hidup merdeka dan tidak lagi dibawah bayang-bayang pendudukan Israel.

"Saya sangat senang dengan hidup saya di sini di Kharkiv. Itu adalah dunia yang jauh dari efek sehari-hari pendudukan Israel, kenyataan yang saya alami sejak kecil. Ketika saya tiba di Ukraina, saya menemukan apa sebenarnya kebebasan itu," ujar Samar, dilansir dari Al Araby, Kamis (31/3/2022).

Sayangnya, kehidupan yang dijanjikan ini tidak bertahan lama. Kehidupan di Ukraina berubah dalam semalam setelah Rusia memulai invasinya. 

“Ketakutan masa lalu dari Gaza muncul kembali, tapi jauh dari keluarga rasanya lebih sulit,” kata Samar.

Samar memutuskan satu-satunya pilihannya adalah kembali ke Gaza. Dalam situasi yang tidak menyenangkan, tampaknya untuk saat ini Gaza lebih aman daripada Ukraina. 

Tetapi bahkan perjalanannya kembali amat berbahaya. Dalam perjalanan pulang, Samar menghadapi sejumlah situasi genting yang membahayakan keselamatannya. 

“Ketika saya mencoba meninggalkan Kharkiv dengan kereta api, kereta terpaksa mengalihkan jalurnya (karena pengeboman). Perjalanan yang harusnya 12 jam menjadi 36 jam. Kami tidak tahu di mana orang-orang Rusia itu berada dan apakah kami aman atau tidak,” ujarnya.

"Pikiran saya terlempar kembali ke Gaza; pengeboman terdengar sama, pesawat terdengar sama, dan kami dipenuhi ketakutan apakah kami akan hidup atau mati,” kata Samar. 

Pada 2014, Samar kehilangan sejumlah kerabatnya selama agresi Israel di Gaza dan ingin memastikan keluarganya tidak mengalami hal serupa. Ibunda Samar turut berbagi kisah membagikan kecemasannya atas kondisi putrinya yang jauh dari rumah. Hal-hal mengerikan terus membayanginya, memikirkan putrinya yang tinggal sendiri di Ukraina. 

“Itu tidak mudah, putri saya berada di negara asing yang hidup melalui perang sengit lainnya. Saya tidak tidur selama seminggu penuh,” ujar ibu Samar.

Ketika Samar kembali ke rumah, dia diliputi emosi. "Begitu saya melihat ibu, saya memeluknya erat-erat dan menangis seperti saya belum pernah menangis sebelumnya dalam hidup. Saya mengatakan kepadanya tidak pernah ingin jauh darinya lagi,” ujar Samar sambil menangis.

Terlepas dari keadaannya, nasib pendidikan Samar tetap tidak diketahui. Samar berharap perang akan segera berakhir dan hidup kembali normal.

"Perang menghancurkan kehidupan, tujuan, impian, dan masa depan. Saya tidak tahu apakah saya akan dapat kembali belajar, saya tidak tahu apakah perang akan berakhir,” ujarnya.

Menurut Kementerian Luar Negeri Palestina, sekitar 4.000 warga Palestina tinggal di Ukraina. Sejak awal invasi, kementerian telah berusaha mengevakuasi hingga 3.000 dari mereka. 

Bagi orang lain seperti Samar, situasinya tidak terlalu berbeda. Ibrahim Saidam adalah mahasiswa kedokteran di universitas Ukraina yang bernasib sama dengan Samar. Tetapi bagi Ibrahim, masalah menjadi lebih sulit karena dia menikah dengan seorang wanita Ukraina. 

Ibrahim mengatakan beberapa hari pertama sangat sulit. Bagi istrinya Victoria, ini adalah pengalaman pertamanya berperang dan Ibrahim terus-menerus harus menghibur istrinya yang sedih. 

"Saya telah hidup melalui perang di Jalur Gaza, jadi saya tahu apa yang harus dilakukan, tetapi kali ini lebih sulit untuk mendapatkan kebutuhan dasar seperti makanan dan minuman. Pengeboman sangat dekat dan kami memutuskan melarikan diri. Pada awalnya saya tidak tahu harus ke mana, tetapi akhirnya saya memutuskan kembali ke Gaza. Keluarga saya ada di sana,” kata Ibrahim.

Istri Ibrahim, Victoria, mengatakan  selama perjalanan berbahaya keluar dari Ukraina, dia sangat takut. Terutama ketika dia mendengar suara ledakan yang begitu dekatnya. Tapi sekarang dia aman, dia punya waktu untuk merenung.

“Sekarang semua ini sudah berakhir, saya senang berada di Palestina. Tapi saya masih merindukan keluarga dan negara saya. Saya harap saya bisa mendapatkan kesempatan untuk melihat mereka secepatnya,” kata Victoria.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler