Mobilitas Masyarakat Capai Puncak Tertinggi di Saat BA.2 Mendominasi
Masyarakat Indonesia dinilai sudah memiliki imunitas tinggi terhadap Covid-19.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dessy Suciati Saputri, Dian Fath Risalah, Lintar Satria Zulfikar
Tren penurunan kasus Covid-19 di Indonesia saat ini mendorong peningkatan mobilitas masyarakat yang melakukan perjalanan secara signifikan. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menyebut, mobilitas masyarakat saat ini bahkan mencapai tingkat tertinggi sejak pandemi melanda Indonesia.
Kondisi inipun dinilainya menunjukan situasi pandemi yang telah terkendali dengan baik dan memberikan rasa aman serta nyaman terhadap masyarakat untuk beraktivitas. “Mobilitas masyarakat yang melakukan perjalanan ke luar rumah juga mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Mobilitas masyarakat mencapai tingkat tertinggi semenjak pandemi melanda negeri kita ini,” kata Luhut saat konferensi pers usai rapat terbatas evaluasi PPKM di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (4/4/2022).
Dengan terjadinya perbaikan kondisi Covid-19 saat ini, lanjut Luhut, pemerintah akan terus melakukan transisi dan mengembalikan kehidupan serta aktivitas ekonomi masyarakat mendekati ke tingkat yang normal.
Tren penurunan kasus ini terlihat di seluruh indikator secara nasional. Jumlah kasus harian mengalami penurunan tajam hingga 97 persen dari puncak kasus atau dalam waktu kurang dari tiga bulan.
Selain itu, kasus aktif nasional juga mengalami penurunan hingga 83 persen dari puncak kasus dan saat ini berada di bawah 100 ribu kasus. Pemerintah juga mencatat terjadinya penurunan rawat inap di rumah sakit yang mencapai 85 persen.
Bahkan angka BOR alias keterisian rumah sakit saat ini hanya sebesar 6 persen dan angka positivity rate di bawah standar WHO yakni 4 persen. Sedangkan, jumlah orang meninggal pun mengalami penurunan tajam hingga 88 persen dibandingkan saat puncak kasus Omicron.
Namun demikian, Luhut mengatakan pemerintah masih belum puas dengan capaian tersebut. “Pemerintah belum sepenuhnya puas dengan capaian di atas. Untuk itu, pemerintah akan terus bekerja menuntaskan dan keluar dari badai pandemi ini,” ujar Luhut.
Luhut mengatakan, pemerintah mengharapkan keterlibatan peran serta dan juga kesadaran masyarakat untuk terus menjaga protokol kesehatan, khususnya dalam menggunakan masker.
“Segala langkah strategis yang akan diambil, yang sudah diberlakukan, tentunya akan menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian. Jangan sampai perbaikan yang sudah kita capai susah payah kemudian menjadi sia-sia,” kata dia.
Saat ini dominasi kasus Covid-19 di Tanah Air diisi sub varian BA.2. Namun, karena imunitas masyarakat yang tinggi sehingga tidak menyebabkan adanya lonjakan kasus.
"Varian ini sudah masuk di Indonesia dan sudah menjadi varian yang dominan di Indonesia," kata Budi dalam konferensi pers secara daring, Senin.
Budi mengatakan, kondisi di Indonesia berbeda dengan sejumlah negara di Eropa dan China. Diketahui, saat ini peningkatan kasus Covid-19 kembali terjadi di beberapa negara yang disebabkan oleh Omicron varian BA.2.
"Pemerintah menyadari bahwa lonjakan kasus yang ada di Eropa dan juga di China itu disebabkan oleh varian baru yang bernama Omicron BA.2. Kami beruntung dengan kondisi imunitas masyarakat Indonesia yang cukup tinggi sehingga varian baru ini tidak menyebabkan adanya lonjakan kasus di Indonesia," tutur Budi.
Namun, lanjut Budi, pemerintah akan tetap berhati-hati. Saat ini, pihaknya juga terus melakukan pemantauan varian baru Covid-19.
"Pemerintah tetap berhati-hati karena kami menyadari bahwa lonjakan kasus yang tinggi selalu terjadi dengan adanya varian baru," ungkapnya. "Sehingga kami selalu memonitor varian baru yang ada," tegasnya.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan sub varian BA.2 kini mendominasi angka kasus infeksi di seluruh dunia. Lonjakan kasus infeksi di banyak negara Eropa dan Asia meningkatkan kewaspadaan potensi gelombang baru di Amerika Serikat (AS).
Pada Selasa (29/3/2022) WHO mengumumkan kini BA.2 bertanggung jawab atas hampir 86 persen kasus infeksi di seluruh dunia. Varian ini lebih menular dibandingkan sub-varian Omicron lainnya seperti BA.1 dan BA.1.1. Tapi sejauh ini menunjukkan hanya menimbulkan gejala ringan.
Seperti sub varian Omicron lainnya vaksin kurang efektif bagi BA.2 dibandingkan varian Alpha atau varian virus corona yang asli. Proteksi yang diberikan vaksin juga berkurang seiring berjalannya waktu.
Namun menurut data Lembaga Kesehatan Inggris proteksi dapat dikembali dengan vaksin booster atau penguat. Terutama untuk mencegah rawat inap dan kematian.
BA.2 juga dikenal sebagai "varian siluman" karena lebih sulit dilacak. Gen yang hilang di BA.1 dapat dilacak dengan mudah dengan tes PCR. BA.2 dan saudaranya BA.3 yang juga meningkatkan prevalensi tapi saat ini di tingkat yang rendah, hanya dapat ditemukan melalui sekuens genom, teknologi yang tidak dimiliki banyak negara.
Kekhawatiran utama dari BA.2 adalah apakah sub varian itu dapat menginfeksi ulang orang yang sudah memiliki BA.1 terutama sejumlah negara tampaknya mengalami "lonjakan ganda" rata-rata kasus infeksi. Tapi data dari Inggris dan Denmark menunjukkan Omicron memang dapat menginfeksi lagi orang yang sudah terinfeksi varian lain seperti Delta.
Tapi hanya sedikit orang yang terinfeksi ulang BA.2 bagi orang yang sudah terinfeksi BA.1 dari puluhan ribu kasus. Ilmuwan mengatakan lonjakan BA.2 dapat disebabkan banyak negara yang mulai mencabut peraturan pembatasan sosial.
"Di beberapa cara, bisa jadi BA.2 varian yang menyebar ketika masyarakat berhenti memakai masker," kata virolog Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health Dr Andrew Pekosz.
Sementara itu direktur Scripps Research Translational Institute Eric Topol mengatakan "masih terlalu dini" untuk menyatakan AS akan mengalami gelombang baru infeksi virus corona. Ilmuwan mengatakan apa pun alasannya lonjakan kasus infeksi BA.2 menjadi pengingat virus corona masih mengancam terutama bagi masyarakat yang tidak divaksin, kurang divaksin dan kelompok rentan.
"Ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat yang besr dan terus berlanjut," kata epidemiolog University of Edinburgh Mark Woolhouse, dilansir dari Reuters.