'Jokowi Ikut Nikmati Isu Tunda Pemilu, Sampai Akhirnya Sadar Itu Melawan Kehendak Rakyat'
Peringatan Jokowi kepada menteri soal isu penundaan pemilu dinilai telat.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dessy Suciati Saputri, Febrianto Adi Saputro, Mimi Kartika, Nawir Arsyad Akbar, Antara
Presiden Joko Widodo (Jokowi) pekan ini menegur jajaran menteri yang terus menerus memberikan pernyataannya terkait masalah penundaan pemilu dan juga perpanjangan masa jabatan presiden. Teguran itu disampaikan Jokowi dalam sidang kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta, Selasa (5/4/2022) yang diunggah melalui kanal Youtube Sekretariat Presiden pada Rabu (6/4/2022).
“Jangan sampai ada lagi yang menyuarakan lagi mengenai urusan penundaan, urusan perpanjangan. Ndak,” kata Jokowi.
Jokowi ingin jajarannya memperbanyak komunikasi kepada masyarakat terkait situasi global yang terjadi saat ini. Kondisi global yang sulit ini menyebabkan terjadinya krisis dan juga kenaikan inflasi di berbagai negara, bahkan berdampak pada kondisi di dalam negeri. Karena itu, ia tak ingin jajarannya justru membuat polemik di masyarakat.
“Jangan menimbulkan polemik di masyarakat, fokus pada bekerja dalam penanganan kesulitan-kesulitan yang kita hadapi,” ujar Jokowi.
Pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Kupang Dr Ahmad Atang menilai peringatan Presiden Jokowi kepada jajaran kabinetnya untuk menghentikan wacana presiden tiga periode sudah terlambat.
"Sikap Presiden Jokowi yang meminta agar wacana tersebut dihentikan, sudah terlambat. Bagaikan mematikan bara api dengan air yang justru percikan apinya sudah kemana-mana," katanya ketika dihubungi di Kupang, Kamis (7/4/2022).
Ahmad Atang mengatakan, dari awal wacana ini mencuat ke permukaan, baik dilakukan oleh kalangan politisi partai pendukung maupun dari internal pemerintahan. Menurut dia, karena wacana tersebut bergulir cukup lama, maka Jokowi terkesan menikmati wacana tersebut.
Namun, bola panas wacana penundaan pemilu dan presiden tiga periode justru melawan kehendak publik yang memberikan tanggapan negatif atau penolakan. Menurut Ahmad Atang, Jokowi sering kali melakukan eksperimen politik yang membingungkan seperti yang tampak dari sikapnya terhadap wacana tersebut.
"Mengapa Jokowi tidak bersikap sejak awal agar wacana tersebut tidak menjadi bola liar yang menciptakan kegaduhan politik tanpa berujung," katanya.
Oleh sebab itu, kata dia, dapat diduga bahwa sesungguhnya Jokowi tahu dan mau agar wacana itu terus menggelinding bagaikan bola salju. Namun, kata Ahmad Atang, hitungan tersebut sepertinya bertepuk sebelah tangan karena publik secara spontan menolak setiap wacana politik yang kontra-konstitusi.
Senada dengan Ahmad Atang, Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO), Dedi Kurnia Syah, menilai pernyataan Presiden Jokowi melarang para menterinya bicara soal penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden sudah tidak relevan. Sebab, menurutnya wacana tersebut sudah terlanjur bergulir di publik.
"Wacana (penundaan pemilu) ini sebetulnya sudah mapan di kalangan publik, opini sudah terlanjur terbangun sehingga ketika Jokowi melakukan larangan di akhir mobilisasi seperti sekarang, selain ada keterlambatan saya kira ini adalah upaya untuk melepas diri dari tanggung jawab wacana itu sejak awal," kata Dedi kepada Republika, Kamis.
Dedi menilai teguran Jokowi kepada menterinya memunculkan kesan bahwa Jokowi berusaha untuk menghindar dari dampak polemik yang sudah terlanjur terbangun. Tidak hanya itu, Dedi juga menilai pernyataan tersebut dirasa perlu disampaikan mengingat PDIP sejak awal menolak wacana itu.
Baca juga : Roy Suryo Bagikan Video Jokowi Angkat Tiga Jari Saat Beri BLT Migor ke Pedagang
"Karena mau tidak mau PDIP sebagai partai politik presiden menolak sejak awal. Artinya bisa saja presiden mengalami tekanan dari partai PDIP meskipun presiden mulanya menikmati bahkan merestui wacana yang digelorakan oleh menko Luhut Panjaitan," ucapnya.
Untuk itu menurutnya kelompok sipil yang menolak keras wacana penundaan sipil tidak perlu terlena begitu saja dengan pernyataan Jokowi tersebut. Berkaca dari pengalaman, Dedi memandang beberapa kali pernyataan Jokowi justru tidak sinkron dengan situasinya.
"Misalnya terkait dengan kenaikan harga-harga kebutuhan publik, minyak goreng, kemudian bahan bakar termasuk juga kenaikan tol pajak dan lain-lain itu kan mustahil kalau Jokowi tidak mengetahui. Tapi begitu berpolemik tiba-tiba Jokowi melakukan statement yang seolah-olah ia tidak tahu, ia melakukan kritik terhadap menterinya sendiri," terangnya.
"Jadi hal-hal semacam ini saya kira senada dengan apa yang disampaikan Jokowi terkait dengan wacana penundaan pemilihan umum ini," imbuhnya.
Adapun, pengamat komunikasi politik Universitas Gajah Mada (UGM) Nyarwi Ahmad menilai, larangan Presiden Jokowi kepada menteri agar tidak berbicara penundaan pemilu maupun perpanjangan masa jabatan presiden sudah tepat untuk situasi saat ini. Apalagi, kini rakyat tengah dihadapkan dengan kelangkaan dan tingginya harga minyak goreng serta kebutuhan pokok lainnya.
"Saya kira larangan itu tepat karena wacana itu kalau kita runut sebenarnya datangnya dari elite juga. Kalau melihat ke belakang entah dalam bahasa perpanjangan atau tiga periode itu kan berasal dari kalangan elite para menteri atau petinggi partai," ujar Nyarwi dalam keterangan tertulisnya kepada Republika, Kamis (7/4/2022).
Nyarwi mengakui diskursus semacam ini sebenarnya wajar dalam sebuah negara demokrasi. Kendati demikian, ada banyak persoalan publik lain yang lebih penting dan memerlukan penyelesaian yang menyangkut kehidupan ekonomi, bukan sekadar jabatan presiden tiga periode.
"Ya sah-sah saja sebenarnya wacana semacam itu, tapi ada yang jauh lebih penting adalah menyangkut kehidupan publik yang harus segera diatasi, bukan soal presiden tiga periode, tapi bagaimana mengantisipasi soal minyak goreng atau kenaikan tarif tol, BBM, dan lain-lain," kata dia.
Terhadap berbagai usulan menyangkut perpanjangan masa jabatan presiden atau presiden tiga periode, ia menilai usulan semacam itu menandakan jika sebagian elite masih merindukan bayang-bayang memiliki sosok pemimpin yang kuat seperti di zaman Orde Baru. Dengan keinginan semacam itu memperlihatkan soal ketaatan pada konstitusi dan prinsip-prinsip demokrasi belum tertanam sepenuhnya dalam kesadaran para elite.
Baca juga : Jangan Hanya Larang, Jokowi Perlu Sanksi Menteri yang Gaungkan Penundaan Pemilu
Nyarwi sangat menyayangkan usulan tersebut, mengingat Indonesia sudah mengalami fase kelembagaan demokrasi yang relatif cukup matang. Hal tersebut terbukti dengan keberhasilan pelaksanaan pemilu secara langsung selama empat kali.
Menurut dia, kondisi ini memperlihatkan prosedural demokrasi di Indonesia sudah melembaga cukup baik dengan penyelenggaraan pemilu secara reguler lima tahunan untuk pemilihan legislatif dan pemilihan presiden. Terlepas dari tingkat pendidikan dan pengetahuan politik yang belum merata, tetapi pada intinya prinsip dasar demokrasi secara prosedural sudah berjalan dan masyarakat sudah terbiasa menggunakan hak pilihnya.
"Karenanya tepat cara untuk menghentikan polemik ini. Bisa berhenti tentu sejauh elite tidak meneriakkan atau menyuarakan agenda presiden tiga periode, dan saya kira wacana itu akan teredam dengan sendirinya," kata Nyarwi.
Respons PDIP
Sekretaris Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) DPR Bambang Wuryanto juga sudah menanggapi peringatan Presiden Jokowi kepada menteri di kabinetnya yang menyuarakan wacana penundaan Pemilu)2024. Menurutnya, itu merupakan peringatan kepada para menteri untuk bekerja sesuai dengan tugasnya.
"Saya lebih memandang sebagai orang politik, sadarlah tidak pada posisimu? Ini (isu penundaan pemilu) sudah terlalu bias, sudah terlalu bias. Pak Presiden mengingatkan, heh sadarlah engkau pada posisimu," ujar Bambang saat ditemui di ruangannya, Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis.
Bambang menjelaskan, kondisi Indonesia saat ini memerlukan fokus dari para menteri di kabinet untuk bekerja sesuai bidangnya. Bukan malah menyuarakan penundaan Pemilu 2024, yang bukan merupakan bagian dari tugasnya.
"Pak Presiden sedang mengingatkan menteri-menterinya agar sadar posisi, tapi kalau Menteri Dalam Negeri ya itu, kalau mau ngomong masih ada make sense dengan tugasnya," ujar Bambang.
Adapun Airlangga Hartarto yang juga menyuarakan penundaan Pemilu 2024, dipandangnya sebagai aspirasi dari Ketua Umum Partai Golkar. Bukan dari Menteri Koordinator Perekonomian yang merupakan bagian dari Kabinet Indonesia Maju.
Baca juga : Jokowi Minta Ketersediaan Pangan dan BBM Terjaga Saat Mudik Lebaran
"Kalau Pak Airlangga sebagai ketum, kalau sebagai Menko ya tidak pas. Kalau Pak Luhut ya monggo saja, bisa evaluasi sendiri, kan banyak orang yang mengatakan beliau prime minister, menteri utama," ujar Ketua Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) PDIP itu.
Bambang mengakui kekuatan politik yang kuat milik Luhut. Ia mencontohkan ketika Luhut yang mengumumkan kembalinya ekspor batu bara ke negara lain.
"Orang juga paham sekali betapa Pak Luhut sangat kuat, power politiknya kuat. Misalnya, contoh Pak Presiden pernah statement disetop ekspor (batu bara) kan gitu, dua hari berikutnya dibuka lagi Pak Luhut yang statement," ujar Bambang.