LPS: Ketahanan Perbankan Nasional Masih Kuat di Tengah Normalisasi Kebijakan Moneter

Kondisi Perbankan Indonesia kuat didukung tingkat permodalan yang cukup tinggi.

lps.go.id
Logo Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). LPS mengatakan kondisi perbankan di Indonesia masih cukup kuat di tengah meningkatnya tekanan eksternal
Rep: Retno Wulandhari Red: Nidia Zuraya

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengatakan kondisi perbankan di Indonesia masih cukup kuat di tengah meningkatnya tekanan eksternal terutama akibat percepatan normalisasi kebijakan moneter bank sentral dunia. 

Baca Juga


Inflasi di beberapa negara terus melanjutkan kenaikan yang disebabkan oleh kombinasi berbagai faktor dari sisi demand, supply, dan distribusi. Belum meredanya konflik Rusia-Ukraina juga menyebabkan harga-harga energi dan bahan pangan mengalami peningkatan  sehingga berdampak pada kenaikan inflasi.

Hal ini turut mendorong Bank Sentral di berbagai negara untuk menaikkan suku bunga acuannya, sebagai upaya untuk menahan kenaikan inflasi sehingga tingkat harga diharapkan dapat lebih terkendali. 

Sebelumnya, bank sentral AS, Federal Reserve, pada Maret 2022 telah menaikkan Fed rate sebesar 25 bps. Selain itu, Bank of England (BoE) juga telah menaikkan suku bunga acuannya secara agresif sebanyak tiga kali sejak pertengahan Desember tahun lalu.

"Kondisi Perbankan Indonesia kuat didukung tingkat permodalan yang cukup tinggi di level 25,8 persen dan likuiditas yang longgar," kata Ketua Dewan Komisioner LPS, Purbaya Yudhi Sadewa, Selasa (12/4/2022). 

Per Februari 2022, total aset perbankan tumbuh 10,3 persen yoy ditopang oleh pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) sebesar 11,1 persen yoy. Penyaluran Kredit perbankan mampu tumbuh 6,3 persen yoy, jauh membaik dibandingkan kondisi sepanjang 2020 yang pada saat itu penyaluran kredit terkontraksi sebesar 2,4 persen. 

Pertumbuhan DPK yang lebih tinggi dari pertumbuhan kredit, membuat likuiditas perbankan masih longgar dengan rasio LDR di level 78,0 persen. Longgarnya likuiditas tersebut, tercermin juga pada tingginya aset likuid bank yang didominasi oleh penempatan pada Surat Berharga Negara (SBN) dan pada Bank Indonesia. 

Dari sisi kualitas aset, Gross NPL terjaga di level 3,1 persen. Namun demikian, kata Purbaya, kualitas aset tersebut masih dibayangi potensi peningkatan risiko kredit dari kredit yang restrukturisasi dan kredit kolektibilitas 2.

Saat ini, rasio Loan at Risk sebesar 19,8 persen dan rasio kredit restrukturisasi sebesar 16,4 persen. "Apabila dibandingkan dengan 2020, rasio risiko kredit tersebut menunjukan tren perbaikan," kata Purbaya.

Sebagai bentuk mitigasi risiko kredit tersebut, perbankan terus memupuk Cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) secara bertahap yang telah mencapai Rp 353,7 triliun per Februari 2022. Sehingga, rasio coverage CKPN terhadap NPL sudah relatif tinggi mencapai 199,4 persen.

Seiring dengan penurunan tingkat bunga penjaminan LPS, suku bunga di pasar, baik suku bunga simpanan maupun suku bunga kredit juga mengalami tren penurunan. Tren penurunan Tingkat Bunga Penjaminan (TBP) LPS juga sejalan dengan tren penurunan suku bunga acuan bank sentral. 

Dalam kebijakannya, menurut Purbaya, LPS terus bersinergi dengan bank sentral selaku otoritas kebijakan moneter untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional. "Kami akan terus mencermati respon suku bunga simpanan di industri perbankan dan melakukan evaluasi kebijakan Tingkat Bunga Penjaminan untuk turut serta mendukung terciptanya stabilitas sistem keuangan," katanya. 

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler