Pemerintah Diminta Waspada Produksi Padi Turun Saat La Nina
Produksi padi nasional di dua tahun terakhir jauh dari harapan.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru besar IPB University Prof Dwi Andreas Santosa meminta pemerintah mewaspadai tren produksi padi nasional yang menurun pada masa periode fenomena alam La Nina dibandingkan dengan produksi padi pada periode yang sama beberapa tahun sebelumnya.
"Pada 2020-2021 itu adalah La Nina, iklim kemarau basah. Sepanjang sejarah dari data yang saya miliki selama 20 tahun terakhir ini, selama La Nina produksi padi pasti naik relatif tinggi," kata Dwi Andreas dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (12/4/2022).
Dia mencontohkan pada fenomena La Nina pada 2007 hingga 2010, produksi padi Indonesia naik antara 5 sampai 6 persen. Fenomena La Nina selanjutnya pada 2016 produksi padi kembali meningkat hingga 9,6 persen.
Sementara pada periode La Nina yang terjadi tahun 2020 dan 2021, produksi padi tidak meningkat dan cenderung stagnan atau bahkan menurun. "Produksi padi nasional di dua tahun terakhir itu jauh dari harapan. Tahun 2020 itu produksi kita hanya meningkat 0,09 persen, tahun 2021 malah minus 0,42 persen. Ini sebenarnya bahaya bagi kita semua," kata Andreas.
Dia mengatakan apabila produksi padi dalam negeri kembali merosot pada 2022, maka akan berdampak serius pada ketahanan pangan nasional. Sebab beras merupakan komponen pangan yang teramat penting bagi masyarakat Indonesia.
Andreas berpendapat, pengurangan jenis pupuk bersubsidi yang akan hanya menjadi Urea dan NPK saja mulai semester dua 2022 akan berpengaruh pada produksi padi. Menurut dia, masih ada beberapa wilayah geografis Indonesia yang lahannya masih membutuhkan unsur pupuk lain seperti za, SP-36, dan lainnya untuk memaksimalkan produksi padi.
"Kalau tetap menggunakan mekanisme yang sekarang ini, terlalu berisiko untuk menghilangkan beberapa pupuk yaitu karena produksi padi nasional di dua tahun terakhir itu jauh dari harapan," katanya.
Andreas juga menyarankan apabila pemerintah berani melakukan dobrakan kebijakan maka harus mengganti kebijakan pupuk bersubsidi menjadi bantuan tunai langsung (BLT) kepada petani. Bantuan tunai tersebut dapat dimanfaatkan petani sesuai kebutuhannya.