Israel Menantang Kepekaan Rakyat Negara-Negara Muslim
Kepekaan dan kesadaran terhadap tempat-tempat suci meningkat selama Ramadhan.
REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Israel telah membuat kebiasaan menyerang dan membunuh Muslim yang tidak bersalah, termasuk anak-anak dan wanita, yang menunaikan sholat di Masjid Al Aqsha di Yerusalem Timur. Untuk mencegah tidak hanya warga Palestina tetapi juga Muslim yang datang dari berbagai belahan dunia selama Ramadhan, Israel telah mengintensifkan tingkat kekerasan di situs tersebut.
"Pasukan keamanan Israel melanggar prinsip-prinsip Islam dan memasuki masjid dengan sepatu mereka. Mereka tidak menghormati agama Islam dan semua pengikutnya di seluruh dunia. Jelas bahwa tidak ada kekuatan yang menantang atau mengancam Israel," demikian pemaparan Muhittin Ataman dalam artikelnya yang dimuat di Daily Sabah, Rabu (20/4).
Ataman menjelaskan, Israel sering menuding Hamas atau beberapa kelompok Palestina lainnya, menargetkan sasaran Israel. Alasan ini yang kemudian sering dijadikan landasan bagi Israel untuk menyerang Palestina. Namun, Hamas maupun kelompok Palestina lainnya kali ini tidak melakukan penyerangan. Israel-lah yang memulai kekejamannya di Masjid Al-Aqsa dan kemudian meluas ke bagian lain Palestina, termasuk Tepi Barat.
"Semua orang tahu bahwa Israel bersikeras memilih bulan suci Ramadhan untuk melanjutkan klaimnya atas tempat-tempat suci. Bukan rahasia lagi bahwa Israel berusaha menghancurkan situs-situs Islam dan membangun kembali bangunan-bangunan Yahudi. Singkatnya, ini bertujuan untuk de-Islamisasi tanah Palestina," tutur Ataman.
Menurut dia, ada beberapa arti penting dan konsekuensi dari kekejaman Israel. Pertama, Israel terus melanggar prinsip-prinsip hak asasi manusia yang paling mendasar, aturan utama hukum internasional, keputusan Perserikatan Bangsa-Bangsa dan norma-norma tatanan internasional. Ini menantang fondasi sistem negara-bangsa yang didirikan oleh negara-negara Barat.
Kedua, adanya asimetri kekuasaan mutlak antara Israel dan rakyat Palestina. Di satu sisi, warga Palestina telah hidup di bawah kondisi penjara selama beberapa dekade. Kecuali pasukan keamanan Israel, salah satu angkatan bersenjata paling berat di dunia, mengizinkan mereka, orang-orang Palestina tidak dapat berkomunikasi dengan dunia luar.
Artinya, mereka terisolasi dari dunia luar. Di sisi lain, aktor politik Palestina tidak bersatu. Ada banyak perbedaan dan masalah di antara kelompok-kelompok Palestina. Namun, bila perlu, pemerintah Israel cenderung membesar-besarkan kekuatan aktor politik Palestina untuk mendapatkan dukungan tanpa syarat dari pemerintah Barat.
Ketiga, Israel sangat menyadari bahwa tidak ada lagi alasan Palestina bagi pemerintah negara-negara Muslim. Sebagian besar negara Arab semakin tidak peduli dengan kondisi rakyat Palestina yang semakin memburuk. Namun, Israel sangat menyadari bahwa warga Muslim di luar sana, yang tidak seperti pemerintahnya, masih sangat mementingkan tempat-tempat suci di Yerusalem.
Kepekaan dan kesadaran terhadap tempat-tempat suci mencapai tingkat maksimal selama Ramadhan. Dengan kata lain, Israel menantang kepekaan ataupun keprihatinan dan harapan umat Islam.
Keempat, pemerintah Barat terus memberikan dukungan tanpa syarat kepada Israel sebagai negara pendudukan. Dengan demikian, pemerintah Barat membuka jalan bagi semua negara lain untuk melanggar prinsip apa pun dari sistem internasional. Hubungan kekuasaan mulai mendominasi kebijakan hampir semua kekuatan global dan regional.
"Mengingat kekuatan negara-negara Barat yang relatif menurun, proses ini akan menjadi destruktif tidak hanya bagi semua negara dan masyarakat yang menjadi sasaran, seperti Palestina, tetapi juga bagi negara-negara yang lebih kuat seperti negara-negara Barat dan Israel. Tindakan Israel yang tidak dibatasi akan dipantau oleh negara-negara lain," paparnya.
Kebijakan anti-Islam dari pasukan pemerintah India terhadap populasi Muslim India yang besar atau pendudukan Rusia dan kekejaman terhadap orang-orang Ukraina yang tidak bersalah tidak berbeda dengan agresi berkelanjutan Israel. Dalam konteks ini, tampaknya tidak ada negara kuat dan relevan di dunia yang berjuang untuk perdamaian global.
Persaingan global antara kekuatan besar akan membawa dunia dan umat manusia ke dalam sistem politik yang lebih tidak stabil dan kacau. Kebijakan kekuatan global yang konfliktual dan sepihak menghancurkan tidak hanya negara dan masyarakat tetapi juga planet itu sendiri. Dengan demikian, dalam waktu dekat, dunia akan menjadi kurang layak huni.