Laporan PBB Ungkap Bencana Semakin Banyak Terjadi pada Masa Depan

Bencana yang terjadi di dunia semakin terhubung dan terjadi bersamaan.

AP Photo/Shiraaz Mohamed
Sebuah jembatan runtuh di Griffiths Mxenge Highway setelah banjir, di Durban di Durban, Afrika Selatan, Rabu, 13 April 2022. Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang rilis pada Senin (25/4/2022) mengatakan, dunia yang lelah akan bencana akan terpukul lebih keras di tahun-tahun mendatang.
Rep: Dwina Agustin Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang rilis pada Senin (25/4/2022) mengatakan, dunia yang lelah akan bencana akan terpukul lebih keras di tahun-tahun mendatang. Bumi akan menghadapi lebih banyak lagi bencana yang bersamaan dan saling terhubung.

Baca Juga


Jika tren saat ini berlanjut, dunia akan berubah dari sekitar 400 bencana per tahun pada 2015 menjadi sekitar 560 bencana per tahun 2030. Laporan ilmiah dari Kantor PBB untuk Pengurangan Risiko Bencana menjelaskan dunia hanya mampu menerima 90 hingga 100 bencana skala menengah hingga besar setahun.

Jumlah gelombang panas yang ekstrem pada 2030 akan menjadi tiga kali lipat dari 2001 dan akan ada 30 persen lebih banyak kekeringan. Laporan tersebut memperkirakan bukan hanya bencana alam yang diperparah oleh perubahan iklim, tetapi juga Covid-19, krisis ekonomi dan kekurangan pangan, dan perubahan iklim memiliki jejak besar dalam penambahan jumlah bencana.

Turbin angin terlihat di depan pembangkit listrik tenaga batu bara di dekat Jackerath, Jerman pada Jumat, 7 Desember 2018. Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang rilis pada Senin (25/4/2022) mengatakan, dunia yang lelah akan bencana akan terpukul lebih keras di tahun-tahun mendatang. - (AP Photo/Martin Meissner)

Kepala Kantor Pengurangan Risiko Bencana PBB Mami Mizutori mengatakan, orang-orang belum memahami jumlah banyak bencana yang telah terjadi hari ini. "Jika kita tidak mendahului kurva itu akan mencapai titik di mana kita tidak dapat mengelola konsekuensi bencana. Kita hanya dalam lingkaran setan ini," ujarnya.

Masyarakat perlu memikirkan kembali cara membiayai, menangani, dan berbicara tentang risiko bencana dan tindakan yang paling berharga. Mizutori menyatakan, sekitar 90 persen dari pengeluaran untuk bencana saat ini adalah bantuan darurat dengan hanya enam persen untuk rekonstruksi dan empat persen untuk pencegahan.

Menurut Mizutori, tidak setiap badai atau gempa bumi harus berubah menjadi bencana. Banyak kerusakan dihindari dengan perencanaan dan pencegahan.

Baca juga : Warga Beijing Khawatiran Lockdown Wilayah

 

Contoh saja pada 1990, bencana menelan biaya dunia sekitar 70 miliar dolar AS per tahun. Sekarang biayanya lebih dari 170 miliar dolar AS per tahun setelah disesuaikan dengan inflasi. Mizutori mengatakan, jumlah tersebut juga tidak termasuk biaya tidak langsung yang jarang dipikirkan tentang pengeluaran itu.

Selain itu, selama bertahun-tahun kematian akibat bencana terus menurun karena peringatan dan pencegahan yang lebih baik. Namun, menurut rekan penulis laporan Roger Pulwarty, dalam lima tahun terakhir, kematian akibat bencana jauh lebih banyak daripada lima tahun sebelumnya.

Covid-19 dan bencana perubahan iklim telah datang ke tempat-tempat yang tidak biasa terjadi, seperti siklon tropis yang menghantam Mozambik. Cara bencana berinteraksi satu sama lain, menambah kerusakan, seperti kebakaran hutan ditambah gelombang panas atau perang di Ukraina ditambah kekurangan makanan dan bahan bakar.

Sebuah foto selebaran yang disediakan oleh Penjaga Pantai Filipina (PCG) menunjukkan penyelamat membantu penduduk desa dengan rakit di desa yang terendam banjir di Panitan, pulau Panay, Filipina, 12 April 2022. Menurut laporan pihak berwenang setempat, sejumlah penduduk desa terkubur akibat tanah longsor di Filipina tengah dan selatan yang dibawa oleh Topan Megi. - (EPA-EFE/PCG)

Ilmuwan iklim dan sosial di National Oceanic and Atmospheric Administration Amerika Serikat itu mengatakan, jika masyarakat mengubah cara berpikirnya tentang risiko dan bersiap menghadapi bencana, peningkatan kematian akibat bencana tahunan baru-baru ini bisa bersifat sementara. Jika tidak, itu mungkin menjadi ketidaknormalan baru.

Bencana menghantam negara-negara miskin lebih keras daripada yang lebih kaya, dengan biaya pemulihan mengambil bagian yang lebih besar dari ekonomi di negara-negara yang tidak mampu. "Ini adalah peristiwa yang dapat menghapus hasil pembangunan yang diperoleh dengan susah payah, membawa komunitas yang sudah rentan atau seluruh wilayah ke dalam spiral ke bawah,” kata rekan penulis Markus Enenkel dari Harvard Humanitarian Initiative.

 

Laporan tersebut pun menyerukan perbaikan dalam cara masnyarakat berbicara tentang risiko. Misalnya, alih-alih bertanya tentang kemungkinan bencana yang terjadi tahun ini, pejabat harus memikirkan peluang selama periode 25 tahun kedepan.

sumber : AP
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler