Tren Penurunan Kepuasan Publik Terhadap Jokowi di Beberapa Survei

Isu perpanjangan jabatan presiden hingga krisis minyak goreng disebut jadi penyebab.

ANTARA/Wahdi Septiawan
Presiden Joko Widodo (tengah) didampingi Ibu Negara Iriana Joko Widodo (kanan) berbincang dengan sejumlah pedagang makanan saat kunjungan kerja ke Pasar Modern Angso Duo di Jambi, Kamis (7/4/2022). Tingkat kepuasan publik terhadap Jokowi belakangan mengalami tren penurunan berdasarkan beberapa hasil survei. (ilustrasi)
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febrianto Adi Saputro

Baca Juga


Indikator Politik Indonesia pada Selasa (26/4/2022) merilis hasil survei terbaru terkait kepuasan publik terhadap kinerja Presiden Joko Widodo (Jokowi). Ada kemorosotan tingkat kepuasan publik terhadap kinerja Jokowi.

Publik yang menyatakan cukup puas dan puas terhadap kinerja Presiden Jokowi berada di angka 59,9 persen. "Yang puas atau sangat puas kalau kita total 59,9 persen, yang kurang puas 38,6 persen. Jadi lebih banyak yang puas," kata Burhanuddin secara daring, Selasa.

Namun demikian, Burhanuddin menerangkan, jika dilihat dari trennya, kepuasan terhadap Presiden Jokowi mengalami penurunan jika dibanding pada Januari 2022 lalu.

"Jadi kalau kita cek, waktu kita survei di awal Januari 2022, saat itu masyarakat yang puas itu 75,3 persen," ucapnya.

Ia menambahkan, sepanjang pihaknya melakukan survei sejak Januari 2015 lalu, kepuasan tertinggi pemerintahan ada di angka 75,3 persen yakni di Januari 2022 tersebut. Hal tersebut terjadi karena saat itu belum terjadi inflasi.

"Saat itu inflasi belum terjadi. Minyak goreng masih relatif bisa dipenuhi. Dan jangan lupa masyarakat saat itu happy dengan kinerja pemerintahan menangani kasus pandemi, varian Delta. Jadi coba cek di situ ada kenaikan 13 poin di bulan Juli ya sampai November, approval rating," tuturnya. 

Survei Indikator dilakukan terhadap 1.220 responden pada 14-19 April 2022. Survei dilakukan dengan wawancara tatap muka langsung menggunakan metode multistage random sampling

Hasil survei Indikator Politik sejalan dengan survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC). Pada akhir Maret lalu, SMRC merilis penurunan tingkat kepuasan publik terhadap Jokowi selama tiga bulan terakhir.

 

"Ada sedikit penurunan dibanding tiga bulan sebelumnya pada Fesember 2021 yang mencapai 71,7 persen," kata Direktur Riset SMRC, Deni Irvani, Rabu (30/3/2022).

Dalam survei terbaru SMRC pada Maret 2022, diketahui 14,8 responden sangat puas dengan kinerja Jokowi. Sedangkan 49,9 persen lainnya cukup puas. Sehingga 64,7 persen mayoritas publik puas dengan kinerja Jokowi.

Sementara itu 26,3 persen lainnya mengatakan kurang puas dengan kinerja Jokowi. Lalu 6 persen lainnya menyatakan tidak puas sama sekali. Sehingga total 32,3 persen publik kurang/tidak puas dengan kinerja Jokowi.

"Kepuasan terhadap kinerja Presiden Jokowi berhubungan dengan evaluasi atas kondisi ekonomi, politik, keamanan, dan penegakan hukum. Ada kecenderungan mereka yang menilai positif keadaan ekonomi, politik, keamanan dan penegakan hukum juga memberi apresiasi pada kinerja presiden. Demikian sebaliknya," ungkap Deni. 

Survei SMRC digelar melalui wawancara secara tatap muka pada 13 - 20 Maret 2022 terhadap 1.220 responden yang dipilih secara acak dengan metode multistage random samplingMargin of error survei dengan ukuran sampel tersebut diperkirakan sebesar ± 3,12 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen. 

Sebelumnya, kepuasan terhadap kinerja Presiden Jokowi juga diketahui menurun secara signifikan. Hal itu berdasarkan berdasarkan hasil survei terbaru yang dilakukan Indonesia Political Opinion (IPO).

Direktur Eksekutif IPO, Dedi Kurnia Syah mengatakan hanya 6 persen responden yang sangat puas dengan kinerja Presiden Jokowi. Sementara yang puas dengan kinerja Presiden Jokowi sebesar 43 persen. 

"Terjadi penurunan dari periode Februari mencapai 69 persen, lalu saat ini persepsi kepuasan publik hanya di angka 49 persen," kata Dedi kepada Republika, Senin (28/3/2022).

Dedi mengatakan, faktor menurunnya kepuasan publik terhadap kinerja Presiden Jokowi tersebut paling mungkin disebabkan akibat tidak terkontrolnya kebutuhan dasar publik, termasuk minyak goreng. Sebab ia mengatakan situasi itu paling dirasakan dalam periode survei kali ini.

"Mungkin ada imbas soal wacana pembatalan Pemilu dan masa perpanjangan masa jabatan Presiden, tetapi itu tidak signifikan berpengaruh," ujarnya.

Untuk diketahui, survei IPO dilakukan pada 11-17 Maret 2022. Sebanyak 1.220 reponden dilibatkan dalam survei tersebut yang diambil secara acak. 

 


 

Merespons hasil survei Indikator Politik, anggota Komisi XI DPR RI, Hendrawan Supratikno, menilai, fluktuasi harga menjadi salah satu penyebab.

"Fluktuasi harga jelang perayaan Lebaran kali ini memang cukup besar," kata Hendrawan kepada Republika, Selasa (26/4/2022).

Menurutnya adanya kasus minyak goreng mempertontonkan bagaimana berbagai kebijakan yang diambil pemerintah tidak mempan. Selain itu, mekanisme pasar juga dinilai tidak mudah dikendalikan. 

"Rakyat menilai pemerintah tidak efektif menjaga daya beli masyarakat," ujarnya.

Politikus PDIP itu memprediksi target inflasi tahun ini maksimal 4 persen akan terlewati. Kenaikan komoditas pangan, energi, bensin, pajak penjualan (PPn), memiliki efek inflatoar. 

"Pemerintah harus fokus untuk menjaga sisi pasokan agar kenaikan inflasi dapat dikendalikan dengan baik," ungkapnya.

Adapun sebelumnya, menanggapi hasil survei SMRC, Deputi Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Demokrat, Kamhar Lakumani, mengatakan hasil survei itu menunjukkan bahwa tingkat kritis masyarakat. Khususnya, terhadap isu penambahan masa jabatan presiden yang sempat berembus. 

"Merosotnya kepercayaan publik terhadap pemerintah yang terpotret pada hasil survei SMRC, di mana publik membaca bahwa orang-orang dekat Presiden Jokowi menjadi motor isu penambahan masa jabatan presiden dan periodesasi presiden yang bertentangan dengan konstitusi menunjukkan tingkat kritisisme masyarakat yang semakin tinggi," kata Kamhar kepada wartawan, Ahad (3/4/2022).

Kamhar mengungkapkan momentum ini juga penting untuk mengedukasi publik bahwa pelanggengan kekuasaan pada rezim Orde Lama maupun Orde Baru dulu terjadi atas nama konstitusi, sebab pada UUD 1945 sebelum diamandemen tak ada pembatasan masa jabatan presiden sehingga penguasa pada saat itu terus melanggengkan kekuasaannya yang berujung pada pemerintahan yang totaliter dan diktator. Belajar dari pengalaman itu, Partai Demokrat tak ingin konstitusi kembali pada masa kegelapan demokrasi seperti saat itu.

"Karenanya Partai Demokrat sebagai partai yang lahir dari rahim reformasi, terdepan melawan agenda-agenda pelanggengan kekuasaan ini yang nyata-nyata inkonstitusional, kontra demokrasi dan mencederai reformasi," ujarnya.  

Partai Demokrat  secara tegas juga mengingatkan Presiden Jokowi agar jangan sampai jadi Malin Kundang reformasi yang melahirkan kembali masa kelam itu. Karena itu, menurutnya penting bagi Jokowi untuk bersikap dan bertindak tegas terhadap orang-orang terdekatnya yang berupaya untuk memuluskan langkah penambahan masa jabatan. 

 

"Jangan terus menerus membiarkan berjalannya agenda makar atau terorisme konstitusi ini. Apalagi menggunakan tafsir yang keliru terhadap demokrasi sebagai argumentasi pembenaran. Jangan membawa Indonesia pada jurang kehancuran demokrasi," ucapnya. 

 

Publik Tolak Penundaan Pemilu dan Perpanjangan Masa Jabatan Presiden - (infografis republika)

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler