Pakai Masker atau Lepas Masker
Pakai Masker atau Lepas Masker
Sejak kemarin petang, di lini masa saya berseliweran repost kabar dari Sekretariat Presiden, yang mengabarkan Presiden Joko Widodo melonggarkan kewajiban penggunaan masker. Sebagian besar diantara repost kabar tersebut ditambah dengan caption yang menunjukkan kesenangan karena sudah bisa beraktivitas di ruang terbuka tanpa wajib menggunakan masker, setelah selama dua tahun diwajibkan penggunaannya.
Lantas bagaimana dengan saya? Apakah saya termasuk yang gembira atau yang sedih dengan adanya pelonggaran penggunaan masker ini?
Kalau pertanyaannya seperti itu, saya memilih jawaban netral saja ya. Dibilang senang ya senang karena tidak perlu buka tutup masker lagi kalau mau makan atau minum. Tapi dibilang sedih ya mungkin lebih was-was ya. Takutnya ada orang bersin atau batuk lalu tanpa sengaja ada hasil dari bersin atau batuknya itu yang berpindah ke saya.
Terlepas dari itu semua .
Sebenarnya, saya termasuk ‘penganut kepercayaan’ masker bikin penampilan makin keren dan percaya diri. Ini sudah saya percayai sejak lama, jauh sebelum pandemi. Tidak hanya bikin keren, masker juga bisa menutupi kekurangan saya.
Misalnya ketika saya naik kereta api, bus, angkot, atau angkutan umum lainnya, saya memakai masker untuk menutupi mulut saya yang suka mangap saat ketiduran, supaya tidak malu dilihat penumpang lain.
Lalu jika saya mengendarai sepeda motor. Masker menjadi salah satu yang ‘sunnah muakkad’ hukumnya untuk saya kenakan. Supaya debu yang menempel di wajah berkurang, itu yang saya percaya.
Nah dengan diwajibkannya penggunaan masker saat pandemi, tentu saya sudah tidak canggung lagi ketika beraktivitas dengan menggunakan masker saat berada di luar rumah. Bedanya dengan menggunakan masker sebelum pandemi, tidak ada lagi yang bertanya ke saya “Kamu sakit kah? Nggak sakit kok pake masker? Kayak dokter aja,”