Bahaya Riya Terhadap Muslim dan Cara Mengatasinya Menurut Imam Ghazali
Riya bisa berakibat terhadap batalnya pahala amalan seorang Muslim
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Di antara penyakit hati yang kerap menghinggapi manusia adalah sifat riya. Dampaknya orang yang riya selalu berharap pujian dan sanjungan dari orang lain dalam setiap perbuatan kebaikan yang dilakukannya. Amal ibadah yang dikerjakannya tidak dasari keikhlasan dan mengharap ridha Allah SWT.
Tetapi sebatas agar dirinya semakin dihormati dan disanjung makhluk. Banyak hadits yang meriwayatkan tentang konsekuensi orang-orang yang riya dalam beramal. Salah satunya adalah bahwa sifat riya menghancurkan pahala amal kebaikan yang dilakukan.
Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta yang juga Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof KH Nasaruddin Umar, mengatakan bahwa sifat riya mengganggu dan menghalangi hamba dekat dengan Allah SWT. Seorang hamba yang sepanjang hidupnya terjangkit sifat riya maka tidak akan mencium harumnya surga.
Sebab itu, Prof Nasaruddin mengajak setiap Muslim bermuhasabah diri dan mendeteksi ada atau tidaknya sifat riya pada diri masing-masing. Maka setelah menyadari adanya sifat riya dalam diri, agar sesegera mungkin mengobatinya.
Prof Nasaruddin yang juga mantan Wakil Menteri Agama RI menukil keterangan dalam kitab Ihya Ulumuddin karya Syekh Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath Thusi asy Syafi'i atau lebih dikenal sebagai Imam Ghazali, bahwa mengobati penyakit riya diperlukan mujahadah.
Yakni perjuangan atau kesungguhan batin secara maksimal untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Bentuk mujahadah antara lain adalah riyadhah yaitu melatih rohani (spiritual exercises) dengan memperbanyak wirid setiap hari terutama setelah melaksanakan shalat lima waktu.
Yaitu dengan membaca tasbih, tahmid, takbir dan tahlil dan lainnya. Selain itu riyadhoh juga dilakukan dengan meningkatkan ibadah sholat sunnah serta bermunajat mengharapkan keridhaan Allah dan agar semakin dekat dengan Allah (taqarrub ilallah).
Baca juga: Keutamaan Membaca Surah Al-Kahfi pada Hari Jumat
Lebih lanjut Prof Nasaruddin menjelaskan ada dua maqam dalam mengobati sifat riya. Maqam pertama dengan mencabut akar-akar riya yang menjadi dasar tumbuh kembangnya ranting-ranting penyakit riya.
"Jadi mencabut akar-akar riya, jangan menanam bibit riya. Apa contohnya menanam bibit riya? Melakukan kebaikan di hadapan orang banyak. Memperkenalkan kebaikannya di depan publik. Menanam akar-akar riya pasti nanti akan panen riya," kata prof Nasaruddin dalam kajian virtual kitab Ihya Ulumuddin yang diselenggarakan Masjid Istiqlal Jakarta beberapa hari lalu.
Maka dari itu ketika ada orang yang mengetahui amal kebaikan yang dikerjakan dan melontarkan pujian, agar bersegera menyandarkan diri kepada Allah SWT.
Memohon ampun dan perlindungan kepada Allah SWT dari buruknya sifat riya. Serta menyadari bahwa segala keberhasilan dalam melakukan amal adalah karena izin Allah SWT.
Karena itu pula, menurut Prof Nasaruddin seorang hamba harus lebih mengintrospeksi diri ketika banyak orang berterima kasih dan menyampaikan pujian atas kebaikan yang dilakukannya. Sebab khawatir tengah menanam bibit riya dalam diri.
Prof Nasaruddin mengatakan membiasakan beramal dengan tidak diketahui oleh orang lain akan menyelamatkan seseorang dari riya dan akan memanen kebaikan tersebut di akhirat.
Sedangkan orang yang berharap dirinya dikenal karena amal kebaikan yang dikerjakannya di dunia, maka tidak akan mendapatkan balasan apapun di akhirat.
Semua amal kebaikan yang pernah dilakukan orang tersebut ketika di dunia akan hilang ketika dirinya terbuai oleh banyak pujian orang lain yang datang padanya.
Maqam kedua dalam mengobati sifat riya adalah menolak hal yang timbul dari riya pada saat melaksanakan ibadah.
Prof Nasaruddin menjelaskan ketika seorang hamba melakukan kebajikan dan tidak mendapatkan apresiasi dan ucapan terimakasih dari orang lain sejatinya kebajikan yang dikerjakannya merupakan amal yang paling baik.
Baca juga: Amalan Sunnah yang akan Didoakan Puluhan Ribu Malaikat
Sebab itu setiap hamba semestinya dalam melakukan kebajikan tidak mengharap ucapan terima kasih atau penghargaan lainnya.
"Semakin tidak ada orang yang berterima kasih akan kebajikan yang kita lakukan maka semakin baik pahala kita. Semakin banyak orang yang berterima kasih akan kebajikan kita, maka itu semakin buruk kualitas amal itu," katanya.
Sebab itu Prof Nasaruddin Umar mengajak umat Muslim untuk tidak mengharapkan pujian.
Menurutnya banyak orang menjadi gagal karena terbuai dengan pujian, sebaliknya banyak orang sukses karena kritikan yang dagang. Karena itu menurut Prof Nasaruddin tidak perlu bersedih ketika tidak puji oleh makhluk.