Kasus Speech Delay Anak Meningkat Selama Pandemi, Ayah Ibu Perhatikan Tiga Hal Ini
Kasus 'speech delay' banyak terjadi karena penggunaan gawai yang berlebihan.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus speech delay di era pandemi cukup meningkat. Hal itu disebabkan pemakaian gawai yang berlebihan, sehingga interaksi dan aktivitas sosial anak berkurang.
Dokter Spesialis Anak Ajeng Indriastari, memaparkan ciri anak yang mengalami speech delay. Anak yang mengalami keterlambatan bicara biasanya jarang mengeluarkan dan merespons suara, tidak mengerti gestur orang sekitar, dan tidak memiliki kemampuan konsonan sesuai usia.
Sayangnya, orang tua baru menyadari itu saat usia anak 18-24 bulan, ketika anak tidak merespons saat dipanggil orang tua. Sementara pada umumnya anak usia 2 tahun sudah menguasai 50 kosa kata.
“Bahasa ini kan menjadi trending karena fenomena telat bicara lagi tinggi. Kalau kita tahu dari awal, kita akan cari tahu penyebabnya apa. Kalau tahu penyebabnya apa, solusinya berdasarkan penyebab,” ungkap dr Ajeng dalam Simposium Nasional bertajuk ‘Membaca Fenomena Speech Delay: Pendekatan Multi Pihak’ yang diselenggarakan Yayasan Akses Sehat bersama Generos, akhir pekan lalu.
Keterlambatan bicara terbagi menjadi fungsional dan non fungsional. Sebagian besar anak dengan speech delay saat ini masuk dalam kategori fungsional, artinya kurang stimulasi dan pola asuh yang salah. Sementara non fungsional adalah anak-anak yang memiliki gangguan bahasa reseptif, seperti autism ataupun Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD).
“Yang jadi problem anak speech delay ini, banyak dari mereka nggak punya kelainan loh. Fungsi pendengarannya bagus, tidak ada kelainan organ oromotor, masalah bibir sumbing nggak ada. Terus yang salah dimana? Ternyata pola pengasuhan,” ujar dokter yang juga membuka praktik di Bekasi itu.
Terkait hal ini, Ajeng menyebutkan tiga langkah kewaspadaan yang harus diperhatikan ibu.
1. Billingual
Ini bukan berarti ayah berasal dari Eropa dan ibu dari Indonesia, sehingga bahasa maupun culture yang digunakan bercampur. Speech delay bisa terjadi ketika anak diberikan konten menonton dengan bahasa dan kata beragam, sehingga menyebabkan kebingungan pada anak.
2. Gawai
Anjuran dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) merujuk pada American Academy of Pediatrics (AAP), idealnya anak berusia di bawah 2 tahun tidak boleh diperkenalkan dengan gadget.
“Kita harus bersikap di sini bagaimana bijak menggunakan gawai. Bukan berarti dikasih begitu saja lalu ditinggal. Tapi ada pendampingan di situ dan interaksi. Karena ibarat pedang bermata dua ya, sesuatu itu bisa bermanfaat tergantung si pemakai,” papar dr Ajeng.
Di era serba digitalisasi sekarang ini, kita memang tidak bisa 100 persen antigadget dan kita tidak bisa melawan zaman. Tetapi jangan sampai menjadikan gadget ini sebagai electronic baby sitting, gadget diberi pada anak begitu saja lalu anak tidak diajak mengobrol.
3. Alarm
'Alarm' memiliki maksud deteksi dini, karena seringkali speech delay datang terlambat. Padahal, sejak umur 9 bulan tanda-tanda keterlambatan bicara sudah bisa terlihat, seperti belum bisa berbicara mama dan papa atau ketika diajak main cilukba orang tua sudah heboh tapi anaknya cuek.
Perlu ada tes dan screening untuk menemukan penyebab speech delay pada anak. Kemudian, juga butuh kerja tim antara dokter, terapis, orang tua, bahkan psikolog yang bekerja sama. Karena banyak ibu yang stres ketika anaknya mengalami gangguan.
“Ada kasus, saya tinggal di Bekasi, Bekasi kan ibaratnya tetangga Jakarta, saya sebulan itu pasti mendapat satu pasien gizi buruk. Sudah usia 2 tahun beratnya 6,5 kilogram, jelas dong nggak bisa ngomong, jangankan ngomong, duduk sendiri aja nggak bisa. Kan nggak mungkin saya suruh terapi wicara, pasti dibenerin dulu nutrisinya. Nah Ini saya bilang kerja samanya harus dari berbagai pihak,” kata dia.
Peran berbagai pihak untuk mengatasi anak dengan speech delay juga dipaparkan oleh Dokter Umum, dr Ramlan Zuhair Pulungan. Ia mengatakan, orang tua seringkali tidak mempercayai anaknya untuk bercerita sendiri. Jadi ketika ia bertanya pada anak yang menjawab justru orang tuanya.
“Saya melihat anak-anak di tempat saya praktik dan rumah sakit saya bekerja, dia memang sulit sekali berbicara. Ketika saya tanya anak, dia selalu melihat ke orang tua atau yang jawab selalu orang tuanya. Nah itu faktor sosial juga mempengaruhi anak bisa bicara apa nggak,” kata dr Ramlan dalam kesempatan yang sama.
Ketika anak jarang diajak bertemu lingkungan luar seperti ke taman bermain atau ke rumah keluarga, maka akan berpengaruh pada penyebab speech delay. Kemudian, jangan pernah sengaja berbicara cadel pada anak, seperti menyebut ‘susu’ dengan ‘cucu’. Orang tua harus tetap selalu menggunakan bahasa yang benar.