Mengenal Kitab At-Tafsir wa al-Mufassirun Karya Husain Adz-Dzahabi
Kitab ini menjadi kajian di akademik
sumber: Republika
NYANTRI--Husain adz-Dzhabi merupakan ulama kontemporer yang lahir di desa Matubis pada tahun 1915 M. Kritikus tafsir yang menelisik penyimpangan-penyimpangan yang terjadi pada era klasik dan era kontemporer. Kitabnya, al-Tafair wa al-Mufassirun merupakan karyanya yang menjadi kajian di ranah akademik. Khususnya jurusan Tafsir Al-Qur’an. Kitab tersebut dikaji karena memuat komentar-komentarnya mengenai kitab-kitab tafsir secara rinci. Ia juga membahas persoalan pembubuhan tafsir, israiliyat dan penghapusan sanad pada tafsir.
Selain karya tersebut, Husain Adz-Dzahabi mempunyai karya yang lebih spesifik membahas penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh para mufassir, dari kalangan imam madzhab, sufi, filsafat, teologi dan sebagainya. Isu-isu tafsir dari produk kentemporer pun tidak luput dari pembahasannya. Dan banyak lagi karya beliau dalam bidang tafsir dan ulum Al-Qur’an. Selain dalam bidang keilmuan, Ia juga pernah dilantik oleh pemerintah Mesir sebagai Mentri waqaf pada tanggal 15 April 1975, kemudian berhenti pada tahun 1976.
Kitab Tafsir wa al-Mufassir merupakan desertasi Husain Adz-Dzahabi yang kemudian diterbitkan, buku ini diterbitkan oleh Dar al-Hadith, Kairo pada tahun 2012. Buku ini pada awalnya ditulis dua jilid, namun ditambah oleh putranya, Musthafa Muhammad Adz-Dzahabi, yang diambil dari tulisan-tulisan ayahnya yang ia temui setelah wafatnya anaknya.
Pada jilid pertama, Husain Adz-Dzahabin menjelaskan tentang periodisasi perkembangan tafsir. Periode pertama yaitu periode Nabi dan Sahabat. Pada masa ini, ia menjalankan tentang sejauh mana Nabi menafsirkan Al-Qur’an. Maka, lahir dua kelompok. Pertama, mereka mengatakan bahwa Nabi menafsirkan al-Qur’an keseluruhan. Kelompok kedua, Nabi menafsirkan sebagian saja terhadap al-Qur’an. Selanjutnya, ia menjelaskan perkembangan tafsir pada era sahabat. Di kalangan sahabat muncul pemuka tafsir Abdullah bin Abbaz, Abdullah bin Mas’ud, Ali bin Abi Thalib dan Ubay bin Ka’ab.
Kemudian pada periode kedua, Husain Adz-Dzahabi menjelaskan tentang perkembangan tafsir pada era tabi’in. Pada era ini ditemukan madrasah utama, yaitu madrasah Makkah, Madinah dan Irak. Dari sini muncul ulama tafsir dari kalangan Madrasah Madinah, seperti Sa’id bin Jabir, Mujahid bin Jabir, Ikrimah dan sebagainya yang digawangi oleh Ibnu Abbaz. Sementara Madrasah Madinah digawangi oleh Ubay bin Ka’ab yang kemudian muncul Abul Aliyah, Muhammad bin Ka’ab dan Zaid bin Aslam. Adapun Madrasah Irak tercatat nama para mufassir seperti al-Qamah bin Qais, Masruq, al-Aswad bin Yazid, Amir asy-Sya’bi dan Hasan al-Basri.
Periode ketiga, Husain Adz Dzahabi menjelaskan tentang kodifikasi. Pada masa ini, ia menjelaskan tentang periode tafsir bi al-Ma’thur dan kajian tentang Israiliyyat. Ia menyebutkan kitab-kitab terkait yang menggunakan metode bi al-Ma’thur. Seperti Jami’ al-Bayan di Tafsir Al-Qur’an karya Imam ath-Thabari, Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim karya Ibnu Katsir, Ma’alim at-Tanzil karya al-Baghawi dan sebagainya.
Model kedua adalah Tafsir bi al-Ra’yi. Tafsir tersebut mempunyai kaitan besar dengan akal, sehingga Husain Adz-Dzahabi membaginya menjadi dua, diantaranya adalah Tafsir bi al-Ra’yi al-Jaiz (al-Mahmud) dan al-Madzmum. Dari kalangan bi al-ra’yi al-Jaiz, ia menyebutkan beberapa kitab, seperti Mafatih al-Ghaib karya Fachruddin ar-Razi, Tafsir Jalalain karya Imam Jalalain dan lainnya. Sementara, tafsir bi al-ra’yi al-Madzmum seperti kitab al-Kasysyaf karya Imam Az-Zamakhsyari. Beliau memaparkan tentang akidah mu’tazilah yang menyimpang.
Pada jilid kedua dan ketiga, Husain Adz-Dzahabi lebih fokus kepada menjelaskan tentang kelompok-kelompok agama yang memberikan pengaruh terhadap penafsiran al-Qur’an. Diantaranya adalah penafsiran kelompok Syi’ah, Khawarij, kaum sufi dan kelompok-kelompok lainnya yang mempunyai pengaruh besar dalam tafsir dan kehidupan masyarakat. Ia juga menyajikan beberapa penafsiran yang menyimpang, serta menjelaskan bagaimana agar terhindar dari penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan kelompok-kelompok di atas. Dalam hal ini, ia sajikan secara sendiri tentang al-Wadh’u (pengimbuhan) dalam tafsir, Isra’iliyat dan penghapusan sanad yang kerap terjadi tanpa adanya dasar yang kuat.
Wallahu a’lam
Sumber: Husaian Adz-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, (Kairo, Maktabah Wahbah, t.th.)
Penulis: Ahmad Fatoni