PBB Sebut Israel tak Berniat Akhiri Pendudukan di Wilayah Palestina

Israel mengejar "kendali penuh" atas wilayah pendudukan Palestina.

EPA-EFE/ALAA BADARNEH
Tentara Israel berdebat dengan pengunjuk rasa Palestina selama bentrokan di pos pemeriksaan Tayaseer ketika mereka mencoba untuk menyeberangi pos pemeriksaan untuk mencapai lembah Yordania, dekat kota Tubas, Tepi Barat, 06 Juni 2022. Menurut sumber medis Palestina, 25 warga Palestina terluka dalam bentrokan yang meletus ketika mereka berusaha untuk menyeberangi pos pemeriksaan selama protes terhadap pemukiman Israel.
Rep: Rizky Jaramaya Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Sebuah komisi penyelidikan independen yang dibentuk Dewan Hak Asasi Manusia PBB setelah perang Gaza 2021 mengatakan,  Israel tidak berniat mengakhiri pendudukan. Dalam laporan yang dirilis pada Selasa (7/6/2022), komisi penyelidikan independen mengatakan, Israel mengejar "kendali penuh" atas wilayah pendudukan Palestina, termasuk Yerusalem Timur yang dicaplok Israel dalam perang 1967.  

Baca Juga


Komisi tersebut mengatakan, Israel harus melakukan lebih dari sekadar mengakhiri pendudukan di wilayah yang diinginkan warga Palestina untuk sebuah negara. Komisi itu mendesak, perlu ada tindakan lain untuk memastikan hak asasi manusia yang setara.

"Mengakhiri pendudukan saja tidak akan cukup," kata laporan komisi penyelidikan independen itu.

Penyelidikan independen dilakukan setelah konflik 11 hari pada Mei 2021, yang menewaskan 250 warga Palestina di Gaza dan 13 orang di Israel. Mandat penyelidikan mencakup dugaan pelanggaran hak asasi manusia sebelum dan sesudah konflik tersebut. Mereka berusaha untuk menyelidiki akar penyebab ketegangan.

Juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS), Ned Price mengulangi penentangan Washington terhadap penyelidikan itu. Price mengatakan, laporan itu tidak mengurangi kekhawatiran AS atas pendekatan sepihak dan bias yang tidak memajukan prospek perdamaian.

Mengutip undang-undang Israel yang menolak naturalisasi bagi orang Palestina yang menikah dengan orang Israel, laporan itu menuduh Israel memberikan status sipil, hak, dan perlindungan hukum yang berbeda untuk minoritas Arab. Sementara Israel mengatakan, langkah-langkah tersebut bertujuan untuk menjaga keamanan nasional dan karakter Yahudi di Israel.

Israel menarik diri dari Gaza pada 2005. Namun, Israel tetap menekan perbatasan daerah kantong yang sekarang diperintah oleh kelompok Hamas.  Otoritas Palestina memiliki pemerintahan sendiri yang terbatas di Tepi Barat, yang dipenuhi dengan permukiman Israel.

Hamas, yang bersumpah menghancurkan Israel, membuka perang Mei 2021 dengan serangan roket. Penyebab serangan adalah ada upaya dari Israel untuk mengusir keluarga Palestina di Yerusalem Timur, dan pembalasan atas bentrokan polisi Israel dengan warga Palestina di dekat Masjid al-Aqsa, yang merupakan situs tersuci ketiga bagi umat Islam. Pertempuran di Gaza disertai dengan kekerasan jalanan yang jarang terjadi antara warga Yahudi dan Arab di Israel.

Israel memboikot penyelidikan komisi independen tersebut. Termasuk melarang penyelidik masuk ke Israel. Kementerian Luar Negeri Israel mengatakan, laporan yang dikeluarkan oleh penyelidik independen itu bias dan sepihak.

"Ini laporan yang bias dan sepihak yang dinodai dengan kebencian terhadap Negara Israel, dan berdasarkan serangkaian laporan sepihak dan bias sebelumnya," ujar Kementerian Luar Negeri Israel.

Hamas menyambut baik laporan penyelidikan independen itu. Hamas mendesak para pemimpin Israel dituntut atas kejahatan terhadap rakyat Palestina. Otoritas Palestina juga memuji laporan itu dan menyerukan pertanggungjawaban dengan cara yang mengakhiri impunitas Israel.

 Laporan itu akan dibahas di Dewan Hak Asasi Manusia yang berbasis di Jenewa minggu depan. Badan tidak dapat membuat keputusan yang mengikat secara hukum.

Amerika Serikat keluar dari Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada 2018. Ketika itu, AS menilai dewan memiliki sikap bias terhadap Israel. Amerika Serikat kembali bergabung dengan dewan tersebut pada tahun ini. 

Komisi penyelidikan independen yang beranggotakan tiga orang dari Australia, India dan Afrika Selatan memiliki mandat terbuka. Seorang diplomat mengatakan, mandatnya sudah menjadi masalah sensitif.  "Orang-orang tidak menyukai gagasan tentang keabadian," kata diplomat tersebut. 

sumber : Reuters
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler