Menaker Ida Soroti Masalah Pekerja Anak dan Upah Murah di Perkebunan Sawit
Jumlah buruh di perkebunan sawit kini mencapai 20 juta orang
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah menyoroti berbagai masalah ketenagakerjaan pada sektor perkebunan kelapa sawit seperti pekerja anak dan upah murah. Ida akan melakukan tiga hal untuk mengatasi persoalan-persoalan itu.
Ida menjelaskan, permasalahan ketenagakerjaan di perkebunan sawit meliputi isu pekerja anak, praktik upah murah, upah kerja lembur yang tidak dibayar, dan praktik-praktik lain yang bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan dan PP 36/2021. Ada juga isu Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3), utamanya bagaimana mengantisipasi dampak penggunaan pestisida terhadap pekerja/buruh perkebunan.
Menurutnya, berbagai persoalan itu harus ditangani dengan sejumlah tahapan lantaran sektor perkebunan kelapa sawit memiliki karakteristik berbeda dengan sektor lain. Selain itu, sektor ini identik dengan pekerjaan musiman, serta banyak menyerap tenaga kerja dengan keterampilan dan pendidikan rendah.
"Sektor kelapa sawit merupakan salah satu sektor industri yang berperan penting terhadap perekonomian Indonesia. Namun belakangan ini, menurun kinerja ekspor minyak sawit dan akibat pandemi Covid-19 memunculkan berbagai kemungkinan terburuk bagi pekerja/buruh sektor sawit," kata Ida saat berdiskusi dengan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) di Jakarta, Selasa (7/6).
Untuk menangani sejumlah isu tersebut, Ida akan melakukan tiga hal. Pertama, menyamakan persepsi semua pihak atas pelaksanaan hubungan kerja dan pelindungan tenaga kerja di sektor sawit dengan mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), Alih Daya, Waktu Kerja Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja.
"Hubungan kerja pekerja/buruh di sektor perkebunan sawit sebagian besar dilakukan dengan PKWT, termasuk Pekerja Harian. Data dari Sawit Watch masih menunjukkan sekitar 70 persen pekerja di sektor perkebunan sawit merupakan pekerja harian. Hal ini berdampak pada perlindungan dan syarat kerjanya," kata Ida.
Kedua, mengumpulkan setiap informasi terkait kondisi hubungan kerja di sektor sawit pada saat sebelum dan sesudah pandemi Covid-19.
Ketiga, menampung berbagai gagasan atau rekomendasi terkait hubungan kerja di sektor perkebunan sawit. Berbagi masukan itu bisa dimanfaatkan untuk menyempurnakan regulasi hubungan kerja sektor sawit.
Ida pun meminta perusahaan kelapa sawit membantu pemerintah memikirkan cara menciptakan hubungan industrial yang kondusif, harmonis, berkeadilan.
Ketua Umum GAPKI, Joko Supriyono, menegaskan pihaknya mendukung kebijakan pemerintah bidang ketenagakerjaan di sektor perkebunan kelapa sawit. "Apapun, kita semua komitmen mendukung regulasi yang ditetapkan pemerintah," katanya dalam kesempatan sama.
Koalisi Buruh Sawit mencatat, jumlah buruh perkebunan sawit di Indonesia mencapai 20 juta orang. Sebanyak 60 persen di antaranya merupakan buruh dengan hubungan kerja rentan.
"Faktanya masih banyak perkebunan sawit memperkerjakan buruh dengan status buruh harian lepas dengan hari kerja di bawah 7 hari, bahkan 3 hari saja setiap bulannya. Kondisi buruk dan kerentanan buruh perkebunan sawit harus dihentikan," kata Koalisi Buruh Sawit, dikutip dari situs Sawit Watch.
Menurut Direktur Eksekutif Sawit Watch Achmad Surambo, buruknya kondisi kerja di perkebunan sawit terjadi karena minimnya pengawasan. "Pemerintah selama ini absen dalam melakukan pengawasan di perkebunan sawit, sehingga potensi pelanggaran hak buruh sangat besar," ujarnya.