Masa Depan Masjid Bersejarah di Pesisir Bangladesh Terancam Pemanasan Global
Perubahan iklim adalah salah satu ancaman terbesar yang dihadapi situs warisan budaya
REPUBLIKA.CO.ID, BAGERHAT -- Sejak abad ke-15, Kota Masjid di selatan Bangladesh yang didominasi oleh Masjid 60 Kubah yang terbuat dari batu bata telah menjadi tujuan ziarah bagi orang Bangladesh dan turis. Tetapi masjid 60 kubah dan puluhan masjid abad pertengahan lainnya, bangunan umum, makam, dan kuburan di pertemuan Sungai Gangga dan Sungai Brahmaputra menghadapi masa depan yang semakin tidak pasti di tengah suhu bumi yang menghangat.
"Saya percaya jika saya menginginkan sesuatu dan mengunjungi masjid, Allah akan mengabulkan keinginan saya dan saya akan melihat kesuksesan di masa depan," kata seorang mahasiswa, Shofik Ahamed yang mengunjungi situs warisan dunia itu pada liburan Idul Fitri baru-baru ini seperti dikutip dari Scroll In, Senin (13/6/2022).
Kendati demikian, perubahan iklim membawa lebih banyak panas dan curah hujan yang ekstrem, banjir, erosi, dan gelombang air asin di delta selatan dataran rendah Bangladesh dengan ratusan sungai. Di kota masjid, perubahan seperti itu merusak struktur bersejarah, menyebabkan permukaan batu bata yang sudah tua hancur lebih cepat, dan memungkinkan jamur dan tanaman tumbuh.
Peneliti mengatakan, badai yang lebih kuat dan gelombang badai juga merusak struktur, seperti meningkatnya intrusi air melalui tanah dan udara yang merembes ke gedung-gedung bersejarah. Kenaikan permukaan laut yang didorong oleh perubahan iklim merupakan ancaman besar bagi situs warisan dunia ini. Profesor Universitas Khulna, Mahfuz-ud-Darain sejak 2017 telah melihat dampak semacam itu pada warisan budaya Bangladesh selatan.
Ancaman di kota masjid mirip dengan yang dihadapi sekitar 127 situs arkeologi yang dilindungi, banyak di antaranya masjid bersejarah di distrik pesisir Bangladesh. "Setidaknya 50 (situs) telah rusak akibat memburuknya dampak iklim," ujar Direktur Wilayah Khulna untuk Departemen Arkeologi pemerintah Bangladesh Afroza Khan.
Mahfuz-ud-Darain percaya pada pertengahan abad ini, dampak perubahan iklim akan menjadi ancaman utama bagi situs warisan negara dan mengatakan perencanaan harus dimulai sekarang untuk melindunginya. "Ketika dampak iklim menguat, renovasi normal tidak akan berhasil di masjid-masjid ini," kata dia memperingatkan.
Kota masjid Bagerhat sebelumnya dikenal sebagai Khalidatabad yang didirikan oleh jenderal Turki Ulugh Khan Jahan dan berkembang sampai kematiannya pada 1459. Saat ini sebagian besar struktur bata yang dipugar awal abad lalu setelah ditinggalkan dan ditutupi hutan setelah kematian Jahan.
"Monumen semacan itu mewakili tradisi suatu negara," kata profesor di departemen arkeologi Universitas Jahangirnagar, Mostafizur Rahman.
Tetapi sejarah terancam di Bangladesh dan di seluruh dunia karena pemanasan global membahayakan situs warisan dunia, mulai dari alun-alun St Mark yang sering kebanjiran di Venesia hingga patung-patung yang terancam erosi di Pulau Easter.
"Perubahan iklim adalah salah satu ancaman terbesar yang dihadapi situs warisan budaya dan alam secara global dengan setidaknya satu dari lima monumen sudah terancam," kata juru bicara Pusat Warisan Dunia UNESCO Thomas Mallard.
Ia menambahkan, Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa tersebut bekerja dengan negara-negara dan komunitas yang memiliki situs warisan untuk membangun ketahanan terhadap tekanan baru. Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebuayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa menawarkan dana darurat untuk mendukung penilaian kerusakan dan rekonstruksi ketika terjadi bencana.
Dana tersebut telah digunakan untuk melakukan penilaian pascabanjir dan pekerjaan perbaikan di tempat-tempat dari Sana'a Lama Yaman hingga Sudan, di mana bangunan kuno di dekat Sungai Nil juga terendam pada 2020. Namun, Mahfuz-ud-Darain yang menjabat di Komite Pengarah Jaringan Warisan Iklim Internasional, mengatakan negara-negara seperti Bangladesh juga perlu meningkatkan upaya perlindungan mereka sendiri.
Dia merekomendasikan peningkatan pendanaan untuk penelitian tentang dampak iklim pada warisan. Selain itu, harus ada upaya yang ditingkatkan untuk menyesuaikan struktur bersejarah dengan perubahan yang akan datang, serta memastikan upaya pelestarian bersejarag berada dalam kebijakan iklim nasional yang lebih luas.
Khan dari Departemen Arkeologi Pemerintah mengatakan, upaya telah dilakukan tahun ini untuk mengidentifikasi situs bersejarah pesisir yang paling berisiko. Departemen juga telah mengusulkan perubahan tentang Undang-Undanh Barang Antik yang akan membuat situs bersejarah terancam atau rusak oleh dampak iklim yang memenuhi syarat untuk pendanaan negara untuk perlindungan dan perbaikan.
Mohammed Helal Uddin yang selama 30 tahun telah menjadi imam di Masjid 60 Kubah berharap bantuan akan segera datang, mencatat kerusakan bangunan bersejarah akan menjadi kerugian besar. Rahman dari Universitas Jahangirnagar juga menyetujuinya.
"Kita harus menyelamatkannya untuk generasi mendatang," katanya.