Tayamum Hanya Boleh dengan Debu Tanah yang Murni? Ini Ragam Pendapat Ulama
Tayamum diperbolehkan sebagai bentuk keringanan dalam beribadah
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Tayamum merupakan salah satu bentuk kemudahan yang Allah SWT berikan kepada hamba-Nya untuk bersuci dari hadas.
Para ulama menyepakati dibolehkannya tayamum dengan debu tanah yang suci. Namun demikian para ulama saling berselisih pendapat tentang boleh tidaknya tayamum dengan benda-benda lain selain debu yang dikeluarkan oleh bumi.
Abdul Qadir Muhammad Manshur dalam kitab Panduan Shalat An-Nisaa menjelaskan, Imam Syafii berpendapat bahwa tayamum tidak boleh dilakukan kecuali dengan debu murni.
Sementara Imam Malik dan para pengikutnya berpendapat bahwa tayamum boleh dilakukan dengan semua yang menonjol di atas permukaan bumi kecuali kerikil, pasir, dan debu.
Sedangkan Imam Abu Hanifah menambahkan, "Dan dengan semua materi yang dikeluarkan oleh bumi, seperti kapur, warangan (arsenik), lumpur, dan marmer."
Adapun jumhur ulama mensyaratkan agar debu berada di atas permukaan tanah. Sementara Ahmad bin Hanbal membolehkan tayamum dengan debu pakaian dan permadani.
Yang menyebabkan perselisihan pendapat mereka adalah dua hal. Pertama, pluralitas makna kata shaid (permukaan bumi, baik di atasnya ada debu maupun tidak) dalam firman Allah SWT صَعِيدًا طَيِّبًا "sha'idan thayyiban", surat An Nisa ayat 43, dalam pembicaraan orang-orang Arab.
Kadang kata ini digunakan untuk menunjuk debu murni dan kadang digunakan untuk menunjukkan semua bagian bumi yang nampak.
Sampai-sampai makna etimologis kata ini mendorong Imam Malik dan para pengikutnya untuk membolehkan tayamum dengan rumput dan salju.
Mereka berkata, "Karena pada dasarnya ia bisa dinamakan shaid." Yakni dari sisi kemunculannya ke atas permukaan bumi. Namun demikian pendapat ini dianggap lemah.
Kedua, kata al-ardh (bumi/tanah) disebutkan secara mutlak dalam sebagian riwayat hadits masyhur yang membolehkan tayamum.
Sementara dalam riwayat lainnya kata ini dibatasi dengan 'debu'. Hadits yang dimaksud adalah sabda Rasulullah SAW, "Bumi/tanah dijadikan bagiku sebagai tempat sujud dan penyuci."
Adapun pendapat yang membolehkan tayamum dengan segala sesuatu yang dikeluarkan oleh bumi, ini adalah pendapat yang lemah sebab kata 'shaid' tidak mencakupnya.
Seluas-luasnya, kata shaid itu menunjuk apa yang ditunjuk al-ardh, tidak tercakup di dalamnya warangan dan kapur, tidak pula salju dan rumput. Pluralitas kata thayyib juga menjadi salah satu faktor perselisihan.