Ketua Komisi III Berharap RKUHP Selesai pada Masa Sidang Ini

Pemerintah mengakui belum membuka draf RKUHP ke publik.

ANTARA/M Risyal Hidayat
Sejumlah mahasiswa membentangkan poster saat aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (28/6/2022). Pengunjuk rasa yang berasal dari berbagai universitas tersebut menolak pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Rep: Nawir Arsyad Akbar Red: Agus raharjo

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto mengatakan, saat ini sudah tak ada dinamika diantara semua fraksi terkait Rancangan Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (RKUHP). Jika tak ada halangan lagi, ia berharap kitab hukum tersebut dapat selesai pada masa sidang DPR kali ini, yang akan berakhir pada 7 Juli mendatang.

"Diusahakan bisa selesai pada masa sidang ini, harapannya kita selesai pada masa sidang ini, tapi kalau belum ya kita mundur," ujar Bambang di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (29/6/2022).

Kendati demikian, ia mengatakan DPR mengutamakan kesesuaian prosedur dalam pengesahan suatu undang-undang, termasuk RKUHP. Komisi III disebutnya tak tergesa-gesa untuk mengesahkan RKUHP pada masa sidang kali ini.

"Ya kalau belum nanti mundur lagi, kan begitu. Jadi tidak usah tergesa-gesa, santai aja, apa si yang jadi masalah," ujar Bambang.

Sebelumnya, Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan, ada lima alasan draf Rancangan Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (RKUHP) belum dibuka ke publik. Pertama, pemerintah merevisi beberapa pasal berdasarkan masukan masyarakat.

"Kedua, mengenai rujukan pasal, kan ada dua pasal yang dihapus. Kalau dua pasal dihapus itu kan berarti kan nomor-nomor pasal jelas berubah, sehingga kita rujukan pasal ini harus hati-hati," ujar pria yang akrab disapa Eddy itu di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (28/6/2022).

Ketiga, terdapat masih banyak salah ketik atau typo dalam draf RKUHP yang membuat pihaknya masih melakukan perbaikan. Selanjutnya, pemerintah masih harus melakukan antara batang tubuh dan penjelasan RKUHP. "Terakhir adalah tentang persoalan sanksi pidana. Jadi sanksi pidana ini kita harus mensinkronkan supaya tidak ada disparitas," ujar Eddy.

"Memang yang betul-betul kami mencermati itu persoalan revisi ini, misalnya ya mengenai kejahatan terhadap kesusilaan ini jangan sampai dia tumpang tindih dengan UU TPKS yang sudah disahkan. Dan yang kedua kita masih harus mendefinisikan beberapa hal," sambungnya.

Baca Juga


BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler