Tolak Miras, DPRD Jabar Kedepankan Dakwah Bil Hikmah
Keberadaan miras memicu intoleran dan kerusakan ahlak
REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG – Keberadaan minuman keras tidak berhenti menghantui tatanan sosial masyarakat. Mulai dari warga yang tewas karena oplosan, hingga dugaan praktik penistaan agama yang dilakukan klub malam Holywings, itu semua dipicu oleh keberadaan minuman beralkohol.
Itulah yang memicu keprihatinan Anggota Fraksi Gerindra DPRD Provinsi Jabar Ihsanudin. Termasuk di daerah pemilihannya, Kabupaten Karawang, belum lama ini, ditemukan kasus tewasnya puluhan warga karena mengonsumsi miras oplosan.
Kebayakan dari mereka yang menjadi korban miras oplosan, berasal dari kelompok masyarakat ekonomi bawah. Karena faktor ekonomi, para korban harus membeli miras oplosan, karena tidak mampu membeli miras bermerk.
Baik miras oplosan atau bukan, semua pihak sepakat bahwa minuman beralkohol memiliki risiko berbahaya bagi kesehatan manusia. Bahkan dalam agama Islam, miras dikategorikan sebagai barang haram.
Menurut Ihsanudin, fenomena itu harus menjadi alarm bagi semua pihak, untuk lebih gencar mengampanyekan bahayanya miras. ‘’Peredaran miras memang tidak dilarang sepanjang penjualnya mengantongi izin. Namun, kita semua tahu bahwa barang itu sangat merusak masyarakat,’’ ujar Ihsanudin kepada Republika, Rabu (29/6).
Jika dikonsumsi, miras dapat merusak ahlak, akal sehat, hingga tindakan intoleran. Wakil rakyat yang dekat dengan pemuda itu, meminta semua pihak tidak lengah dengan bahaya miras, baik yang beredar di pasaran atau di tempat hiburan malam.
Kata dia, miras tidak sekadar minuman yang memabukan, namun bisa merusak budaya. ‘’Jangan sampai miras ini dianggap budaya bagi pengonsumsinya, dan dianggap bukan maksiat,’’ tambahnya.
Risiko dari miras akan melebar ke hubungan antarmasyarakat. Karena hilang akal sehat dan ahlak, maka pengonsumsi miras berpotensi menjadi perusak tatanan sosial di masyarakat.
Ihsanudin juga menyayangkan lokasi hiburan malam yang menyediakan miras bagi pengunjungnya. Sekalipun mengantongi izin, namun fasilitas miras itu berpotensi memicu pada perbuatan maksiat lainnya. Di antaranya narkoba dan transaksi prostitusi.
Ada baiknya, ungkap Ihsanudin, masyarakat yang ingin mencari hiburan malam tidak memilih lokasi yang menyediakan miras. Masih banyak lokasi hiburan positif yang sesuai dengan ajaran agama dan budaya Indonesia.
Sekalipun berpotensi menjadi sarang maksiat, pihaknya tidak setuju bila lokasi tersebut di-sweeping oleh ormas tertentu. ‘’Lebih baik dakwah bil hikmah, ketimbang melakukan aksi main hakim sendiri,’’ tambahnya.