Sultan Minta Pelaku Kerusuhan di Seturan-Babarsari Ditindak Tegas

Sultan mengingatkan pendatang menjujung tinggi DIY yang tidak mengenal kekerasan.

Wihdan Hidayat/Republika
Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X.
Rep: Silvy Dian Setiawan Red: Ilham Tirta

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X menegaskan agar kelompok yang terlibat kerusuhan di Seturan dan Babarsari, Depok, Kabupaten Sleman, DIY pada Senin (4/7/2022), ditindak tegas. Kejadian tersebut buntut dari kerusuhan di salah satu tempat hiburan di Babarsari beberapa waktu lalu.

"Tindak saja bagi mereka yang melanggar pidana, tegakkan hukum karena sudah terjadi pelanggaran," kata Sultan di Kompleks Kepatihan, Yogyakarta, Selasa (5/7/2022).

Sultan mengatakan, segala bentuk kesalahpahaman seharusnya dapat diselesaikan dengan dialog. Hal ini, katanya, tidak harus diwarnai dengan kekerasan fisik, terlebih yang mengakibatkan adanya korban.

"Mosok sampai ada korban dan sebagainya tidak kita tindak, yang klitih (kejahatan jalanan) saja kita tindak, kita harus adil dalam menegakkan hukum, jangan pilih-pilih," ujar Sultan.

Ia pun berharap agar pendatang yang masuk ke DIY dapat menghargai sesama, begitu pun dengan warga DIY. Terlebih, katanya, kekerasan fisik bukan budaya yang diterapkan DIY.

"Sesuaikan kondisi dimana dia berada, di Yogya bukan model kekerasan (untuk) dilakukan, harus menyesuaikan dimana dia tinggal. Kita masyarakat yang menghargai orang lain bisa rukun, saya berharap mereka juga bisa begitu," jelasnya.

"Karena masyarakat kita ini tidak mengenal kekerasan fisik seperti itu," tambah Sultan.

Sultan juga menjelaskan, pihaknya pernah berdialog dengan warga dari Indonesia timur agar tidak terjadi kericuhan di DIY. Dialog dilakukan bahkan dengan mahasiswa dari Indonesia timur, tidak hanya dari Papua, namun juga NTT, Ambon, hingga Sulawesi.

"Empat tahun lalu kan sering berkelahi karena di sana (Depok) banyak kampus, saya datangi ke sana, kita dialog. Jadi seperti yang saya sampaikan kemarin, alasannya (terjadi kekerasan) mereka ngomong keras dianggap emosi. Ngomong keras enggak apa-apa, kan seperti volume radio saja, dibesarkan dan dikecilkan. Tapi jangan mahasiswa itu ngomong kekerasan (tapi), kekerasan fisik," ujarnya.

Baca Juga


BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler