Menolak Suap Demi Kebaikan: Kritik Atas Pandangan Ulil Abshar Abdalla Ketua PBNU
'Fatwa' Ulil Abshar Abdallah berpotensi disalahgunakan
Oleh : KH Asnawi Ridwan, aktivis anti-korupsi
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-Praktik suap menyuap adalah perbuatan dosa besar bahkan sangat besar sebab dampak buruk yang ditimbulkannya sangat luas. Bila mencuri digolongkan perbuatan dosa besar karena sangat merugikan korban pencurian, maka praktek suap menyuap ini dampaknya jauh lebih dahsyat daripada kejahatan mencuri atau sejenisnya.
Hal ini karena praktik suap menyuap dapat meruntuhkan peradaban manusia, menghancurkan supremasi hukum, dan dapat menghancurkan negara.
Simaklah keterangan yang disampaikan oleh syekh Abi Ishaq Al-Syathibi di dalam kitab Al-Muwafaqat, jilid II, halaman: 385 cetakan Darul Hadits berikut ini:
فلا يجوز لوالٍ أن يأخذ أجرة ممن تولاهم على ولايته عليهم، ولا لقاضٍ أن يأخذ من المقضي عليه أو له أجرة على قضائه، ولا لحاكم على حكمه، ولا لمفت على فتواه، ولا لمحسن على إحسانه، ولا لمقرض على قرضه، ولا ما أشبه ذلك من الأمور العامة التي للناس فيها مصلحة عامة، ولذلك امتنعت الرشا والهدايا المقصود بها نفس الولاية؛ لأن استجلاب المصلحة هنا مؤدٍ إلى مفسدة عامة تضاد حكمة الشريعة في نصب هذه الولايات
وعلى هذا المسلك يجري العدل في جميع الأنام، ويصلح النظام، وعلى خلافه يجري الجور في الأحكام، وهدم قواعد الإسلام. أي: بأخذ الرشوة يؤدي إلى مفسدة عامة هي الجور وعدم الاستقامة في تأدية واجبات الولاية والقضاء، من رعاية العدالة والنصفة بين الناس، والبعد عن تهمة التحيز
“Maka tidak diperkenankan bagi pengasuh mengambil upah dari orang yang diasuh atas upah pengasuhannya. Qadhi juga tidak boleh mengambil upah dari pihak yang dinaungi hukumnya atau upah atas keputusannya.
Hakim juga tidak boleh mengambil upah atas putusan hukumnya, mufti atas fatwanya, orang yang berbuat baik atas kebaikannya, orang yang menghutangi atas pemberian hutangnya, dan peran sejenisnya yang menyangkut kemaslahatan umum.
Oleh karena itu, mereka dilarang menerima suap. Karena mengupayakan kemaslahatan pribadi hanya akan menyebabkan mafsadah bagi seluruh manusia yang bertentangan dengan hikmah syariah dibalik pengangkatan para penentu kebijakan ini.
Atas retorika ini akan berjalanlah keadilan bagi seluruh manusia dan terjaganya supremasi hukum. Atas hal yang menyimpang dari ketentuan ini akan melahirkan keputusan-keputusan hukum yang tidak adil, dan meruntuhkan kaidah-kaidah Islam.
Perlu dicatatan bahwa, dengan menerima suap akan menimbulkan kerusakan yang dirasakan oleh warga negara secara umum yang berupa kesewenang-wenangan, tidak konsisten dalam menjalankan kewajibannya sebagai penegak hukum, menjaga sifat adil, netralitas.
Risiko-risiko besar akibat suap menyuap ini tidak boleh kita sepelekan begitu saja dalam kasus perbuatan menyuap dengan pertimbangan demi mempertahankan hak miliknya. Kita harus selalu ingat akan kaidah:
الرضا بالشيء رضى بما يتولد منه
“Menyetujui suatu perbuatan harus didasari dengan kesetujuan akan dampak yang ditimbulkannya.”
BACA JUGA: Perburuan Tentara Israel di Brasil dan Runtuhnya Kekebalan Negara Zionis
Diperbolehkannya menyuap hanyalah terkhusus saat darurat, sebagaimana keterangan yang disampaikan oleh Imam Subuki dalam kitab Fatawa-nya berikut ini:
فتاوى السبكي - (ج 1 / ص 204)
والمراد بالرشوة التي ذكرناها ما يعطى لدفع حق أو لتحصيل باطل وإن أعطيت للتوصل إلى الحكم بحق فالتحريم على من يأخذها كذلك وأما من لم يعطها فإن لم يقدر على الوصول إلى حقه إلا بذلك جاز وإن قدر إلى الوصول إليه بدونه لم يجز
“Yang dimaksud dengan suap sesuai keterangan yang telah saya sebutkan adalah sesuatu yang diberikan demi menolak kebenaran atau menghasilkan kebatilan. Apabila suap diberikan demi tercapainya hukum secara benar, maka hukum haram hanya bagi penerimanya saja. Sedangkan hukum bagi pemberi suap diperinci, jika tidak mampu mendapatkan putusan hukum secara benar terkecuali dengan memberi suap, maka boleh menyuapnya. Jika mampu mendapatkan putusan hukum secara benar dengan tanpa menyuap, maka tidak boleh menyuap.”
Bila dirangkai berbagai keterangan yang ada dalam kitab-kitab ini dengan inter-teks, dipahami bahwa ketika peradaban suatu bangsa masih rendah, dipimpin oleh rezim yang diktator dan dzalim, dan belum terbentuk perangkat hukum yang lengkap, maka ada peluang diperbolehkannya hukum menyuap demi mempertahankan kepemilikan hartanya.
Karena memang kondisi bangsa masih dalam darurat. Seperti pada saat penjajahan atau awal-awal kemerdekaan.
Sedangkan untuk negara yang sudah memperoleh kemerdekaannya hampir 80 tahun dengan peradaban yang tinggi, sebagai negara demokrasi, dan perangkat hukumnya sudah lengkap sudah tidak ada alasan darurat lagi.
Supremasi hukum harus dijaga bersama dan keadilan harus ditegakkan. Justru, pemerintah harus menerbitkan undang-undang yang melarang pemberian suap dengan alasan apapun, memberikan perlindungan kepada pihak yang ditekan untuk memberikan suap, dan menghukum penyuap dan penerima suap.
Diperkuat dengan fatwa para ulama Mesir Dar al-Ifta’ al-Mishriyah dengan redaksi sebagai berikut:
ولقد توسَّع الفقهاء أيضًا في معنى الرشوة حتى أدخلوا فيها من دفع شيئا لغيره ليستخلص به حقه، أو يدافع به عن نفسه، أو عرضه، أو حتى عن الآخرين، فهذه تسمى رشوة أيضًا، ولكن الفقهاء قصروا الحرمة حينئذ على الآخذ دون المعطي بشروط وقيود مشددة، فعليه أولًا أن يستنجد ويستنصر ويستغيث بكل من يظن فيه أن يوصل له حقه أو يمنع عنه الظلم، فإذا ضاقت به السبل ولم يجد المعين أو المجير أو المغيث فإنه يكون في حكم المضطر والذي يرتكب أخف الضررين ويدفع أشد المفسدتين حين يقدم شيئا للحفاظ على حقه أو حق غيره، وهذا متفقٌ عليه بين المذاهب الأربعة، ويخرج من إثم التحريم الدافعُ والمعطي وحده، ويبقى الإثم والفسق والكبيرة تحيط بالآخذ والقابض وحده واقعًا تحت الوعيد، مجرَّمًا بعار وخزي هذه الكبيرة؛
فيقول السيوطي الشافعي في كتاب "الأشباه والنظائر" في قواعد فقه الإمام الشافعي رحمه الله تعالى: [القاعدة السابعة والعشرون: ما حرم أخذه حرم إعطاؤه... ويستثنى صور منها: الرشوة للحاكم ليصل إلى حقه] اهـ.
وهو نص كلام ابن نجيم الحنفي، ويؤيده ابن عابدين في حاشيته على "الأشباه"، وفي كلام العلامة عبد الغني النابلسي في كتابه الموسوم بــ"تحقيق القضية في الفرق بين الرشوة والهدية" ما يوافق ذلك، وهذا الاتفاق من أصحاب المذاهب الأربعة لأنه يحقق قاعدة: ارتكاب أخف الضررين واجب. وهذا التكييف لا يدعو القائمين على الأمر إلى التهاون في الضرب على أيدي المفسدين، بل على العكس من ذلك تمامًا: يجب أن ينذر بأهمية الضرب على أيدى العابثين المفسدين الفاسقين، ويشحذ الهمم ضدهم.
ومن ناحية أخرى: على ولي الأمر أن يغيث كل من طلب منه الغوث للقضاء على هذا الفساد العريض، ويجب على الراشين والمرتشين أن يتوبوا إلى الله تعالى من هذا الإثم حتى يبارك الله سبحانه في أموالهم وأولادهم.
Para ulama ahli fikih juga memperluas makna risywah (suap) ke dalamnya siapa saja yang membayar sesuatu kepada orang lain untuk memuluskan mendapat haknya atau untuk membela dirinya dan kehormatannya atau sampai dari orang lain.
BACA JUGA: Serangan Yaman yang Merepotkan Israel dan Jatuhnya Pamor Militer Amerika di Kawasan
Maka ini juga disebut suap. Akan tetapi para ulama fikih membatasi kekharaman kepada orang yang mengambil dan bukan orang yang memberi dalam hal meraih hak atau membela diri dan sejenisnya itu dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang sangat ketat.
Bagi orang itu pertama kali harus mencari bantuan dan pertolongan dari siapapun yang dia anggap bisa membantu untuk meraih haknya atau mencegah kezaliman. Ketika jalannya sempit, tidak bisa mendapatkan bantuan atau penolong, maka dia berada pada posisi seorang yang dalam keadaan darurat yang dengan terpaksa melakukan yang paling ringan di antara dua keburukan dan menghindari yang paling berat di antara keburukan ketika menawarkan sesuatu untuk mempertahankan haknya atau hak orang lain.
Hal ini telah disepakati oleh empat mazhab, bahwa pembayar dan pemberi dibebaskan dari dosa keharaman, sedangkan pengambil dan penerima tetap berada di bawah hukuman haram.
Imam al-Suyuthi al-Syafii dalam kitab “al-Asybah wa al-Nadzhair” yang menjelaskan kaidah-kaidah fikh Imam al-Syafii rahimahullah bahwa, [Kaidah kedua puluh tujuh: Apa yang dilarang untuk diambil, maka dilarang pula untuk diberikan...Ada beberapa pengecualian dalam kaidah ini, yaitu: menyuap hakim untuk mendapatkan haknya].
Itu adalah teks perkataan Ibnu Nujaym al-Hanafi dan didukung oleh Ibnu Abidin dalam komentarnya atas kitab al-Asybah, dan dalam kertaan al-‘allamah Abdul Ghani al-Nabulsi dalam kitabnya yang berjudul “Tahqiq al-Qashiyah fi al-Furuq bayna al-Rasywah wa al-Hadiyah” yang sepakat dengan itu, dan ini kesepakatan dari para pengikut madzhab empat, karena mengukungkan kaidah:
“Melakukan yang lebih ringan dari dua keburukan adalah wajib. Kaidah ini bukan berarti menyerukan agar para pemimpin bersikap lunak dalam menghukum para koruptor, tetapi justru sebaliknya: dia harus pengeringatkan tentang pentingnya menghukum para koruptor, yang tidak bermoral, dan kurp, serta mempertajam tekad untuk melawan mereka.
Di sisi lain, penguasa harus membantu siapa pun yang meminta bantuannya untuk menghilangkan korupsi yang meluas itu, dan para penyuap dan penerima suap harus bertaubat kepada Allah ta’ala dari dosa ini, agar Allah ta’ala memberkati harta dan anak-anak mereka.
Karena itu, ada tiga kritik penting disampaikan kepada pernyataan ketua PBNU Ulil Abshar Abdallah yang menyatakan ada “suap hasanah”.
Pertama, tidak melihat konteks. Pendapat ulama yang menyatakan bahwa diperbolehkan menyuap untuk memperjuangkan hak yang dilontarkan ketua PBNU Ulil Abshar Abdallah itu sesuai dengan konteks pada zamannya di mana infrastruktur peradilan dan penegakan hukum masih belum komprehensif dan maksimal.
Sedangkan sistem peradilan dan hukum di Indonesia saat ini sudah jauh lebih baik dan komprehensif seperti ada BPK, KPK, Peradilan, Kepolisian, ada NGO anti korupsi seperti ICW dan yang lainnya yang terus melakukan penelitian, advokasi, dan kontrol, dll. Jadi, antara konteks dulu dengan sekarang berbeda.
Kedua, harfiyah. Tidak melakukan inter-teks dan mencomot pendapat yang sesuai selera suap hasanah tanpa mempertimbangkan dan tanpa mengutip pejelasan-penjelasan lebih lanjut yang ada dalam kitab-kitab para ulama yang cukup kaya itu.
Pandangan Ulil Abshar sebagai ketua PBNU dengan menyebutkan “suap hasanah” tersebut jelas tidak pantas untuk disampaikan ke publik Indonesia. Terlebih dengan menggunakan bahasa “suap hasanah” yang mencerminkan bahwa kondisi suap menyuap seolah-olah menjadi suatu ibadah dan perlu dilestarikan bersama. Konotasi “suap hasanah” bisa disalahpahami seolah melonggarkan hukum terhadap praktik suap.
Sementara suap untuk memperjuangkan hak dalam penjelasan kitab-kitab itu sama sekali bukan hasanah melainkan mencerminkan sebuah kondisi darurat dan kritis dalam penegakan hukum dan keadilan yang memprihatinkan. Menganggap hasanah (baik) terhadap kondiri prihatin adalah keprihatinan tersendiri.
BACA JUGA: Tornado Api yang Bakar Los Angeles Telah Disebutkan Alquran 14 Abad Silam?
Ketiga, boleh jadi berpotensi melemahkan penegakan hukum terhadap pelaku korupsi dan suap menyuap yang selama ini gencar digalakkan oleh pemerintah Indonesia. Memberantas korupsi adalah prioritas pemerintah Indonesia tanpa reserve, dan seluruh rakyat sudah seharusnya mendukungnya.
Sebab, boleh jadi akan ada orang yang menyuap dan menyakininya sebagai suap hasanah dengan merujuk fatwa ketua PBNU Ulil Abshar Abdalah. Fatwa Ulil itu berpotensi dijadikan justifikasi pembenaran atas tindakan suap oleh oknum penyuap di kemudian hari.
Hal ini Karena semua penyuap tanpa kecuali punya anggapan betujuan baik, meski itu buruk. Padahal soal keburukan dan kerusakan dalam pandangan Islam seharusnya berpegang pada kaidah saddu dhari’ah, menutup jalan agar kerusakan dan keburukan yang akan timbul tidak terjadi.