Transplantasi Rahim Bantu Perempuan AS Miliki Momongan, Amankah Prosedurnya?

Dua pertiga dari rahim yang ditransplantasikan berasal dari donor hidup.

Pixabay
Ibu hamil (Ilustrasi). Rahim yang dicangkokkan perlu kembali diangkat setelah melahirkan agar penerima donor tidak perlu minum obat imunosupresan seumur hidup. .
Rep: Adysha Citra Ramadani Red: Reiny Dwinanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam periode 2016-2021, ada 33 perempuan Amerika Serikat yang menerima rahim lewat prosedur transplantasi. Sebanyak 58 persen atau 19 perempuan yang menjalani cangkok rahim berhasil hamil dan melahirkan total 21 bayi.

"Transplantasi rahim perlu dipandang sebagai realitas klinis di AS," jelas tim peneliti melalui studi yang dipublikasikan dalam jurnal JAMA Surgery, seperti dilansir Fox News, Kamis (7/7/2022).

Seluruh perempuan dalam studi ini memiliki masalah ketidaksuburan absolut yang dipengaruhi oleh faktor rahim. Artinya, mereka memiliki kondisi lahir tanpa rahim atau telah menjalani prosedur pengangkatan rahim.

Sebanyak dua pertiga dari rahim yang didonorkan berasal dari donor hidup. Hampir satu dari empat pendonor mengalami komplikasi dari operasi.

"Mengurangi risiko pada pendonor hidup harus menjadi tujuan," kata Dr Rachel Forbes dan Seth Karp dari Vanderbilt University.

Pada sebanyak 74 penerima donor, rahim mereka masih berfungsi setelah satu tahun transplantasi dilakukan. Semua bayi dilahirkan melalui prosedur bedah caesar. Operasi ini umumnya dilakukan sekitar 14 bulan setelah transplantasi dilakukan.

Lebih dari setengah bayi dilahirkan pada usia kehamilan di atas 36 pekan. Setelah para penerima donor melahirkan, rahim yang dicangkokkan akan kembali diangkat. Hal ini dilakukan untuk menghindari penggunaan obat imunosupresan seumur hidup.

Baca Juga


Ketua tim peneliti dari Baylot University Medical Center, Dr Liza Johannesson, mengungkapkan bahwa prosedur transplantasi rahim ini berpotensi bisa membantu banyak perempuan di Amerika Serikat. Hingga saat ini, diketahui sudah ada lebih dari 100 prosedur transplantasi rahim yang dilakukan di dunia.

"Secara de facto, transplantasi rahim adalah terapi kesuburan," ungkap peneliti lainnya Dr Giuliano Testa.

Meski berpotensi menjanjikan, biaya yang cukup besar mungkin akan menjadi kendala. Perusahaan-perusahaan asuransi pun belum tentu bisa menutupi biaya tersebut.

"Cakupan asuransi untuk transplantasi rahim merupakan bagian dari diskusi yang lebih besar, melibatkan cakupan (pembiayaan) untuk layanan kesuburan secara umum," ujar Dr Johannesson.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler