Presiden Sri Lanka Telepon Pemimpin Rusia Cari Bahan Bakar
Krisis ekonomi Sri Lanka telah menyebabkan kekurangan bahan bakar yang buruk.
REPUBLIKA.CO.ID, KOLOMBO -- Presiden Sri Lanka, Gotabaya Rajapaksa, melakukan panggilan telepon dengan pemimpin Rusia Vladimir Putin meminta dukungan kredit untuk mengimpor bahan bakar untuk negara kepulauan yang menghadapi krisis ekonomi terburuk dalam sejarah itu, Rabu (6/7/2022). Sri Lanka dilaporkan telah kehabisan pasokan bahan bakar.
“(Saya) melakukan telecon sangat produktif dengan Presiden Rusia Vladimir Putin. Sambil berterima kasih kepadanya atas semua dukungan yang diberikan oleh pemerintahnya mengatasi tantangan masa lalu, saya meminta tawaran dukungan kredit untuk mengimpor bahan bakar ke #lka dalam mengalahkan tantangan ekonomi saat ini,” kata Rajapaksa dalam cicitannya.
Negara-negara Barat sebagian besar telah memotong impor energi dari Rusia, sejalan dengan sanksi atas perang terhadap Ukraina. Sebelumnya, Perdana Menteri Sri Lanka, Ranil Wickremesinghe mengatakan bahwa pemerintah akan mencari sumber lain terlebih dahulu, tetapi belum berhasil.
Sejak invasi Rusia ke Ukraina pada akhir Februari lalu, harga minyak global telah meroket. Kondisi itu mendorong sejumlah negara untuk mencari minyak mentah Rusia, yang ditawarkan dengan diskon besar-besaran.
Krisis ekonomi Sri Lanka telah menyebabkan kekurangan bahan bakar yang buruk, yang memaksa pemerintah untuk menutup sekolah dan meminta karyawan bekerja dari rumah untuk mengurangi konsumsi stok terbatas itu. Pemerintah mengatakan bahwa tidak ada entitas yang mau memasok minyak ke Sri Lanka, bahkan untuk uang tunai karena perusahaan minyaknya berutang banyak.
Krisis mata uang asing Sri Lanka menyebabkan penundaan pembayaran utang luar negeri pada April, sambil menunggu hasil negosiasi dengan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk paket bailout. Namun, Wickremesinghe mengatakan kepada Parlemen bahwa diskusi dengan IMF menjadi rumit dan sulit karena Sri Lanka menjadi negara yang bangkrut sekarang.
Tidak seperti di masa lalu, ketika Sri Lanka memasuki negosiasi sebagai negara berkembang, kali ini harus menghasilkan laporan keberlanjutan utang kepada IMF untuk persetujuan sebelum kesepakatan dapat dicapai. Utang luar negeri Sri Lanka mencapai 51 miliar dolar AS (sekitar Rp 765 triliun), yang harus dibayar kembali 28 miliar dolar AS (sekitar Rp 420 triliun) pada akhir 2027. Ini berarti pembayaran rata-rata 5 miliar dolar AS (sekitar Rp 75 triliun) untuk lima tahun ke depan.
Warga Sri Lanka selama beberapa bulan terakhir terpaksa mengantre untuk membeli bahan bakar, gas memasak, dan makanan yang terbatas. Krisis telah menyebabkan protes jalanan selama berbulan-bulan dan bentrokan dengan polisi di pompa bensin.