Masjid Satelit Muslim Indonesia di Negeri Sakura (Bagian 1)
Muslim Indonesia di Jepang menjaga asa membangun masjid permanen di Negeri Sakura.
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Asep Wijaya, Jurnalis cum penulis yang bermukim di Jepang
Bermula dari aktivitas keislaman di tempat sewaan berlabel masjid satelit, muslim Indonesia di Jepang menjaga asa membangun masjid permanen di Negeri Sakura.
Seorang pria berkulit putih celingukan di antara hilir mudik anggota jemaah salat idulfitri yang tengah mengambil penganan dari meja saji di belakang aula. Sambil berdiri di atas terpal biru yang membabar, dia memindai sekeliling dan mengamati para bocah berbaju muslim yang menghambur ke sana kemari. Sesekali dia menganggukkan kepala kala bersirobok dengan anggota jemaah lain yang menyapanya.
"Bukan [bingung]. Saya sedang mengamati interaksi [anggota] jemaah. Sebab, ini kali pertama saya bertemu dengan banyak warga muslim Indonesia di Jepang," jawab Adam, seorang mualaf berkebangsaan Amerika Serikat, saat merespons sapaan di sebuah aula pusat kegiatan masyarakat di kota Matsudo, Chiba, Senin (2/5/2022).
Adam merupakan salah satu warga muslim di Jepang—bersama puluhan orang lainnya—yang turut bersalat idulfitri di aula Gedung Minoridai City Center, Matsudo. Aula tersebut disewa oleh pengurus komunitas muslim Indonesia yang belakangan menamakan diri Ruumu Ichi. Adam adalah satu dari sejumlah warga muslim berkebangsaan asing yang hadir pada pelaksanaan salat berjemaah yang rutin diselenggarakan komunitas muslim tersebut.
Salah satu pemukim asal Indonesia yang tinggal di Matsudo, Hendra Setiawan, menyebut, selain menyelenggarakan salat id, Ruumu Ichi juga rutin mengadakan salat Jumat berjemaah. Baginya, agenda salat itu bermanfaat bagi muslim Indonesia yang tinggal di sekitar Matsudo. Selain faktor jarak, alasan bahasa menjadi pertimbangan utama Hendra memilih bersalat di aula Minoridai City Center daripada di masjid-masjid yang dikelola muslim Turki, Bangladesh, dan Pakistan.
"Salat di sini seperti salat di tanah air. Pertama, jarak tempuhnya dekat. Kedua, ceramahnya berbahasa Indonesia. Ketiga, saya dapat berinteraksi dan berbagi informasi dengan sesama warga Indonesia yang bermukim di Jepang," ungkap Hendra dalam percakapan via WA call, Selasa (5/7/2022).
Belakangan, lanjutnya, selain orang Indonesia dan seorang muslim asal Amerika Serikat, ada juga beberapa warga dari Pakistan dan Uzbekistan yang ikut bersalat Jumat berjemaah di aula yang disewa Ruumu Ichi. Alasan mereka memilih salat di sana lantaran jarak yang lebih dekat daripada ke masjid lain yang berada di pusat kota sehingga mereka dapat menghemat waktu, biaya, dan tenaga.
Masjid satelit di Chiba
Ruumu Ichi merupakan komunitas muslim yang dikelola oleh beberapa pemukim asal Indonesia di Jepang. Ia berdiri pada 10 Juni 2022 untuk memfasilitasi warga muslim setempat yang hendak berkegiatan keislaman. Salah satu aktivitasnya menyelenggarakan salat Jumat berjemaah di aula sewaan yang dijadikan sebagai masjid satelit.
Masjid satelit adalah sebutan untuk fasilitas-salat berukuran kecil yang biasanya mengambil tempat di aula atau ruang sewaan dan bersifat semipermanen. Lokasinya sebagian besar berada di pinggiran kota dan kerap bertindak sebagai penunjang dari masjid besar yang ada di tengah kota.
Ketua Komunitas Ruumu Ichi, Muhammad Reja Fauzi, menyatakan, perkumpulan yang dipeloporinya bermula dari fakta banyaknya warga muslim Indonesia yang bermukim di Matsudo dan sekitarnya. Selain bekerja dan belajar, mereka kerap mengadakan pengajian bersama dari rumah ke rumah. Dari temuan itu, dia dan beberapa temannya kemudian menginisiasi pelaksanaan salat idulfitri berjemaah pada Mei lalu.
"Rupanya, jemaah yang hadir saat itu banyak. Yang datang bukan hanya orang dewasa, melainkan juga anak-anak. Karena itu, kami pun membikin acara kecil-kecilan untuk anak-anak sekaligus memperkenalkan kegiatan keislaman kepada mereka," ucap Reja saat berbincang-bincang via Zoom, Senin (4/7/2022).
Usai mengetahui animo besar warga muslim itu, Reja mengusulkan pelaksanaan salat Jumat berjemaah. Selain bertujuan untuk mendekatkan masjid bagi pemukim muslim di Matsudo, penyelenggaraan ibadah wajib itu juga dimaksudkan sebagai wadah interaksi dan bertukar informasi. Boleh dibilang, ungkapnya, masjid satelit itu beroperasi untuk menaungi komunitas muslim yang sudah ada.
"Dengan begitu, mereka dapat berkumpul dan menyelenggarakan pelbagai kegiatan, baik yang bersifat keagamaan maupun yang bernuansa sosial," ucap pria yang bekerja sebagai perawat lansia di Chiba itu.
Lebih lanjut, Reja menyebut, harga sewa aula yang digunakan sebagai masjid satelit relatif murah. Untuk ukuran paling kecil dengan daya tampung sekitar 35 orang, harga sewanya ¥220 atau Rp25 ribu per jam. Adapun untuk aula berukuran paling besar yang dapat menampung hingga 150 orang, harga sewanya ¥750 atau Rp85 ribu per jam. Biasanya, kata dia, pengurus komunitas menyewa aula selama 2-4 jam.
"Jika melihat minat warga muslim untuk salat berjemaah di Jepang, tidak tertutup kemungkinan bagi kami untuk menginisiasi pembangunan masjid permanen. Namun, untuk saat ini, kami ingin berfokus pada penyelenggaraan kegiatan keislaman, seperti pengajian untuk anak, dan silaturahmi, termasuk memperkenalkan Islam dan budaya Indonesia ke masyarakat Jepang," tutur Reja.