Polda Metro Jaya Sudah Tetapkan 30 Tersangka Kasus Mafia Tanah
Sebanyak 13 tersangka merupakan pegawai kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN).
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jajaran Polda Metro Jaya telah menetapkan 30 orang sebagai tersangka kasus mafia tanah. Dari 30 orang tersangka 13 di antaranya adalah pegawai kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN).
"Total tersangka 30 orang," ujar Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya, Kombes Pol Hengki Haryadi, saat konferensi pers di Polda Metro Jaya, Senin (18/7/2022).
Hengki menambahkan, dari 30 tersangka 25 diantaranya telah dilakukan penahanan. Para tersangka ini dilaporkan oleh 12 orang korban, salah satunya artis Nirina Zubir. Namun demikian, Hengki tidak membeberkan perihal lima tersangka yang tidak dilakukan penahanan.
"25 orang ditahan dan lima tidak dilakukan penahanan," tutur Hengki.
Adapun dari 13 tersangka yang merupakan pegawai kantor Badan Pertanahan Nasional, kata Hengki, dua diantaranya adalah Aparatur Sipil Negara (ASN). Kemudian dua orang tersangka Kepala Desa, seorang tersangka jasa perbankan, dan 12 orang lainnya adalah warga sipil.
Sebelumnya, Jajaran Subdit Harda Ditreskrimum Polda Metro Jaya melakukan penggeledahan di kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Jakarta Selatan, Jagakarsa, Jakarta Selatan, pada Kamis (14/7/2022). Dalam penggeledahan itu, polisi menemukan sejumlah sertifikat tanah yang bertahun-tahun tak diserahkan ke pemiliknya.
"Kita temukan sertifikat-sertifikat yang seharusnya udah diserahkan dari tiga tahun lalu tapi ternyata belum diserahkan. Ini kasian masyarakat," ujar Dirreskrimum Polda Metro Jaya Kombes Pol Hengki Haryadi, di kantor BPN Jakarta Selatan, Kamis (14/7/2022).
Menurut Hengki, pelaku yang merupakan pejabat BPN melakukan aksinya pada proses penerbitan sertifikat. Sehingga korbannya pun tidak hanya pemerintah tapi juga masyarakat, terutama yang ikut dalam program pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL). Semestinya masyarakat sangat terbantu dengan program tapi ternyata dihambat oleh pejabat-pejabat tak bertanggungjawab tersebut.
“Ada salah satu modusnya seharusnya sertifikat bisa jadi tapi ini tidak jadi-jadi dan ternyata justru diubah datanya diganti identitasnya, data yuridisnya menjadi milik orang lain dan luasannya lebih besar dan merebut tanah yang bukan haknya,” kata Hengki.