Junta Myanmar Pasang Ranjau Darat di Pedesaan
Militer Myanmar telah menggunakan ranjau di setidaknya 20 desa.
REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYITAW -- Amnesty International mengatakan, pasukan junta Myanmar melakukan kejahatan perang dengan meletakkan ranjau darat dalam skala besar di sekitar desa. Sejak kudeta tahun lalu muncul kelompok pemberontak etnis yang memerangi junta.
Selama kunjungan ke negara bagian Kayah dekat perbatasan Thailand, peneliti Amnesty International mewawancarai para penyintas ranjau darat. Termasuk pekerja medis yang merawat mereka dan orang lain yang terlibat dalam operasi pembersihan.
Amnesty International memiliki "informasi yang dapat dipercaya" bahwa militer telah menggunakan ranjau di setidaknya 20 desa, termasuk di jalan menuju sawah, yang mengakibatkan kematian dan cedera terhadap warga sipil. Amnesty juga telah mendokumentasikan peletakkan ranjau darat di sekitar gereja dan di pekarangannya.
"Tentara telah menempatkan ranjau darat di halaman orang, di pintu masuk rumah, dan di luar toilet. Dalam setidaknya satu kasus yang terdokumentasi, tentara menjebak sebuah tangga rumah dengan alat peledak improvisasi trip-wire," kata pernyataan Amnesty International, dilansir Alarabiya, Rabu (20/7/2022).
Anggota kelompok anti-junta berusaha untuk membersihkan ranjau di beberapa daerah. Tetapi mereka melakukannya dengan tangan kosong dan peralatan dasar, tanpa pelatihan profesional.
“Kami tahu dari pengalaman pahit bahwa kematian dan cedera warga sipil akan meningkat seiring waktu, dan kontaminasi yang meluas telah menghalangi orang untuk kembali ke rumah dan lahan pertanian mereka,” kata Penasihat senior Amnesty International, Rawya Rageh.
Myanmar bukan penandatangan konvensi PBB yang melarang penggunaan, penimbunan, atau pengembangan ranjau anti-personil. Militer Myanmar telah berulang kali dituduh melakukan kekejaman dan kejahatan perang selama beberapa dekade konflik internal.
Kekerasan militer terhadap minoritas Rohingya pada 2017 membuat sekitar 750 ribu orang melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh. Berdasarkan laporan, kekerasan militer itu disertai dengan pemerkosaan, pembunuhan dan pembakaran.
Pada Maret, Amerika Serikat menyatakan bahwa kekerasan terhadap Rohingya sama dengan genosida. Amerika Serikat mengatakan, ada bukti yang jelas dari upaya untuk "menghancurkan" warga Rohingya. Pada 2019, Gambia menyeret Myanmar ke Mahkamah Internasional dan menuduh mereka melakukan genosida terhadap minoritas Muslim.