Poin-Poin Aturan PSE Kominfo Dinilai Berpotensi Melanggar Hak Pengguna

Kominfo menetapkan batas pendaftaran PSE pada Rabu

ANTARA/Muhammad Adimaja
Warga menunjukan sejumlah aplikasi media sosial di Jakarta, Senin (18/7/2022). Kemenkominfo akan memblokir beberapa aplikasi terkait adanya pendaftaran Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) sebagai upaya pemerintah Indonesia untuk melindungi konsumen masyarakat, diantaranya Google, Facebook, Instagram, dan WhatsApp.
Rep: Meiliza Laveda Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aturan Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat yang dikeluarkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) menuai kritikan. Kominfo menetapkan batas pendaftaran PSE pada Rabu (20/7/2022). Apabila platform digital belum mendaftarkan diri, mereka akan terancam diblokir di Indonesia.

Baca Juga


Aturan tersebut dinilai berpotensi melanggar hak pengguna. Menurut Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Nenden S Arum. persoalan terkait aturan PSE bukan hanya mencakup belum daftar atau sudah daftar.

“Meskipun hari ini deadline PSE, nanti semakin banyak yang daftar, itu bukan berarti masalah kita selesai. Karena PSE harus mendaftar, ini berarti harus tunduk terhadap aturan-aturan yang berlaku dan akan tetap berpotensi diblokir,” kata Nenden kepada Republika.co.id, Rabu (20/7/2022).

Nenden menilai aturan PSE tidak tepat sebagai wujud penguatan ruang digital. “Kita sepakat dan mendorong adanya tata kelola yang lebih baik di Indonesia, tetapi caranya harus benar. Bukan menggunakan aturan yang malah berdampak negatif dan berpotensi melanggar hak-hak para pengguna,” ujarnya.

Menurut analisis SAFEnet, ada segelintir pasal “karet” dan multitafsir dari Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020. Pertama, jangkauan “dilarang” yang tercantum pada Pasal 9 ayat 3,4, dan 6 sangat luas. Misal, yang dimaksud dengan meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum di ayat 4b, masih belum jelas standar atau ukuran yang menentukan.

“Kriteria informasi yang dilarang ini sangat ambigu karena salah satu contoh definisinya adalah konten yang meresahkan masyarakat dan mengganggu ketertiban umum. Karena tidak ada definisi yang detail terkait hal tersebut menjadikan pasal ini menjadi sangat “karet,” ucap Nenden.

Selain itu, aturan PSE akan membuat platform digital sering menghapus konten. Sebab, pada pasal 11 poin c disebutkan platform digital tidak akan dikenai sanksi pemutusan akses kalau sudah melakukan pemutusan akses pada konten yang dilarang. Aturan tersebut mendorong platform digital rajin untuk menghapus konten-kontennya.

Kemudian pada pasal 14, disebutkan platform digital wajib menghapus konten dalam waktu 1x24 jam sejak dikontak Kominfo. Untuk konten mendesak harus dihapus dalam waktu empat jam. Jika tidak dihapus, Kominfo akan meminta provider untuk memblokir akses ke platform digital tersebut. Selain itu, platform digital juga bisa dikenakan sanksi yang diatur dalam peraturan terpisah.

Terakhir, platform digital disebutkan wajib memberi akses ke kementerian dan aparat penegak hukum. Pada pasal 21 dan 36 disebutkan platform digital wajib memberi akses Sistem Elektronik dan Data Elektronik ke kementerian atau lembaga untuk pengawasan dan aparat penegak hukum. Bahkan, di pasal 36, aparat penegak hukum meminta platform digital memberikan akses melihat isi komunikasi privat.

Segelintir pasal tersebut kata Nenden memang rawan disalahgunakan. “Biasanya itu juga digunakan untuk membungkam ekspresi teman-teman yang kritis terhadap pemerintah,” tambahnya. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler