Singapura Kembali Lakukan Eksekusi Terpidana Kasus Narkoba

Tahun ini, Singapura telah mengeksekusi lima orang yang terkait kasus narkoba.

.
Tiang gantungan hukuman mati. Ilustrasi. Singapura menghukum mati terpidana narkoba pada Jumat (22/7/2022) pagi.
Rep: Rizky Jaramaya Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, SINGAPURA -- Singapura menghukum mati terpidana narkoba pada Jumat (22/7/2022) pagi. Nazari bin Lajim (64 tahun) dihukum mati karena perdagangan narkoba lima tahun lalu.

Baca Juga


Nazari dieksekusi dengan cara digantung di Penjara Changi Singapura pada Jumat pagi. Singapura telah melakukan serangkaian hukuman gantung dalam beberapa bulan terakhir. Hal ini memicu perdebatan tentang hukuman mati yang dijatuhkan terhadap terpidana kasus narkoba.

“Lima orang telah digantung tahun ini di Singapura dalam waktu kurang dari empat bulan,” kata pakar hukuman mati Amnesty International, Chiara Sangiorgio dalam sebuah pernyataan.

Sangiorgio mencatat bahwa, semua terpidana yang dieksekusi adalah terkait dengan kasus narkoba. Sangiorgio mendesak pemerintah Singapura untuk menghentikan hukuman mati tersebut.

“Gelombang penggantungan (hukuman mati) tanpa henti ini harus segera dihentikan," ujar Sangiorgio, dilansir Aljazirah.

Sebelum menjalani hukuman mati, Nazari berharap hukumannya dapat ditangguhkan. Dia menyampaikan permohonan itu melalui Zoom pada Kamis (21/7/2022). Dia berharap ekseksuinya dapat ditunda dan menemukan pengacara. Pengacara yang mewakili Nazari, M Ravi, telah dicabut sertifikat praktik hukumnya. Sementara pengadilan menolak banding Nazari.

Nazari ditangkap pada 2012 setelah ditemukan membawa 33,39 gram heroin. Singapura menganggap siapa pun yang memiliki lebih dari 15 gram narkoba merupakan pengedar, dan menjatuhkan hukuman mati.

Seorang warga Singapura, Abdul Kahar Othman adalah orang pertama yang digantung. Dia dieksekusi pada 30 Maret, sekaligus mengakhiri jeda dua tahun hukuman mati.

Pada April, Singapura melanjutkan eksekusi terhadap seorang warga Malaysia, Nagaenthran Dharmalingam yang tertangkap membawa heroin seberat 44 gram. Kasus Dharmalingam menarik perhatian global dan banyak permohonan grasi dari keluarganya, pakar PBB, Uni Eropa, dan pemerintah Malaysia. Para pakar PBB mengatakan, Dharmalingam memiliki disabilitas intelektual dengan IQ 69.

 

Pengadilan yang mendengar banding mengatakan, upaya untuk menyelamatkan nyawa Nagaenthran adalah "penyalahgunaan yang terang-terangan dan mengerikan" dari proses hukum. Menurut pengadilan tidak sepantasnya ada upaya untuk menunda atau menghentikan eksekusi.

Pengadilan menolak argumen eksekusi Nagaenthran melanggar konstitusi Singapura. Sebab ia memiliki kelainan intelektual.

Singapura berpendapat bahwa hukuman mati diperlukan untuk mencegah kejahatan dan perdagangan narkoba.

Dalam sebuah pernyataan yang dikeluarkan setelah eksekusi Nagaenthran, sekelompok pakar hak asasi manusia PBB mengatakan, penggunaan hukuman mati yang terus berlanjut di Singapura untuk kejahatan terkait narkoba bertentangan dengan hukum internasional. Ini menekankan bahwa negara-negara yang mempertahankan hukuman mati harus menggunakannya hanya untuk kejahatan paling serius, sementara pelanggaran narkoba tidak memenuhi ambang batas.

Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC) dan Dewan Pengawas Narkotika Internasional (INCB) mengutuk penggunaan hukuman mati untuk kejahatan narkoba. Dalam laporan terbarunya tentang penggunaan hukuman mati di seluruh dunia, Amnesty International mengatakan, eksekusi tahanan melonjak pada 2021 dan tren global tetap mengarah pada penghapusan hukuman mati.

Saat ini, sekitar 110 negara telah menghapus hukuman mati untuk semua kejahatan. Sementara lebih dari dua pertiga negara adalah abolisionis dalam hukum atau praktik. Abolisionisme adalah sebuah paham yang meyakini bahwa suatu tindak pidana dapat mencapai penghapusan hukuman pidana pada kasus-kasus yang tergolong ringan. 

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler