Tengkleng Klewer, tak Lekang hingga Tiga Generasi
Ciri khas Tengkleng klewer adalah kuahnya yang tidak memakai santan.
REPUBLIKA.CO.ID,SOLO -- Sulastri, salah satu penjual tengkleng yang bertahan selama tiga generasi di Solo sejak 1940 an. Selama masih ada cerita yang lahir dari lidah para penikmat sajian olahan kambing, selama itu pulalah perjalanan tengkleng klewer.
Dulu, menurut Sulastri ide tengkleng lahir dari pemikiran neneknya. Neneknya berpikir dan memanfaatkan tulang-tulang kambing yang waktu itu belum selaku sekarang.
“Dulu nenek yang jualan keliling, ibunya ibu Edi, sedangkan sekarang saya generasi ke 3. Awalnya dari ibu Samiyem, Ediyem kemudian saya. Dulu itu tulang kambing tidak dibutuhkan, terus nenek coba-coba buat resep masakan sendiri. Alhamdulillah, ternyata laku terus sampe sekarang,” katanya pada Rabu (27/7/2022).
Nama tengkleng klewer sendiri menurut Sulastri atau kerap disapa Tri baru ada sejak ibunya menetap di daerah Sar Klewer tahun 1971. Namun, setelah kebakaran terjadi di pasar Klewer sekitar tahun 2014, kemudian warungnya pindah di sekitaran Masjid Agung Keraton Surakarta.
“Awalnya belum ada nama (warung tengklengnya) ketika dulu simbah buyut jualan berkeliling. Namun sejak ibunya berjualan menetap mulai dikasih nama sesuai dengan namanya,” katanya.
Ciri khas Tengkleng klewer adalah kuahnya yang tidak memakai santan. Selain itu, Menurut Sri ia tetap konsisten menggunakan resep yang telah diciptakan oleh simbah buyutnya itu.
“Dari dulu memang tidak memakai santan, tidak tahu ya kalau di tempat lainnya. Pokoknya, resepnya tidak diubah. Proses memasaknya sendiri memerlukan waktu 2-3 jam an menggunakan arang, soalnya rasanya lebih sedap,” katanya.
Setiap harinya Sri mampu menjual setidaknya 30 kilogram tulang dan jeroan kambing. Selain itu ia hanya membuka warungnya selama tiga jam, mulai dari pukul 12.00 WIB hingga 15.00 WIB.
“Perhari bisa jual 4 panci, isinya ada 40 kepala dan tulangan erus jeroannya ada dagingnya ada sekitar 30 kg. Sedangkan untuk harganya per porsinya Rp 50 ribu, sedangkan kalau ada tambahan sum-sum dan otak nambah Rp 25 ribu,” katanya.
Menurut Agus Saparudin salah satu pengunjung asal Kudus mengatakan bahwa ia baru pertama kali mencoba tengkleng namun sudah menyukainya. Selain itu, ia mengatakan bahwa daging tengklengnya tidak alot bersama dengan kuah yang sedap.
“Mantab tengklengnya, padahal saya baru pertama kali mencoba (tengkleng). Dagingnya juga empuk sekali ketika digigit. Apalagi untuk kuahnya, rasanya ringan dan gurihnya mengena sekali,” katanya.