Nasihat Wanita yang Menyadarkan Ulama Besar sebab Istrinya Meninggal Dunia

Al-Qasim tersadar berkat nasihat wanita yang bertamu kepadanya

Republika/Thoudy Badai
Ilustrai meninggal dunia. Al-Qasim tersadar berkat nasihat wanita yang bertamu kepadanya
Rep: Hasanul Rizqa Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Kisah berikut ini menyiratkan pentingnya dua hal, yakni menjaga harapan dan saling menasihati antarsesama Muslim. Pada era tabiin, terdapat seorang alim yang bernama Muhammad bin Ka'b. Ia berasal dari kabilah al-Quradhi yang pada masa Rasulullah SAW terkenal dari Yahudi. 

Baca Juga


Pada suatu hari, kabar duka menghampirinya. Sahabatnya, al-Qasim bin Muhammad, mengalami musibah, yakni istrinya meninggal dunia. Maka, Ibnu Ka'b pun datang ke rumah kawan dekatnya itu guna bertakziah. 

Sesampainya di sana, tampaklah bahwa al-Qasim masih dirundung duka yang besar. Wajahnya lesu. Matanya sembap seperti orang yang telah lama menangis. 

Untuk menghiburnya, Ibnu Ka'b menyampaikan sebuah riwayat. Dikisahkan, pada masa dahulu terdapat seorang ahli ibadah dari kalangan Bani Israil. Ulama yang dikenal umat Nabi Musa AS sebagai pakar hukum itu ditinggal wafat istrinya. 

Begitu besar kesan dan cinta sang almarhumah kepada alim tersebut. Karena itu, kesedihan yang amat dalam juga dirasakannya sebagai suami. Bahkan, berhari-hari sejak wafatnya sang istri, fakih itu mengurung diri dalam rumahnya. Enggan menemui kaumnya dan bahkan menolak untuk dijenguk siapa pun. 

Orang-orang kebingungan. Beberapa kawan terus membujuknya, tetapi tidak berhasil. Padahal, umat masih membutuhkan bimbingan dan majelis ilmu yang selama ini diselenggarakannya. 

Hingga suatu hari, datanglah kepadanya seorang perempuan. Setelah kerumunan orang di depan rumah ulama tersebut mereda, wanita itu mengetuk pintu rumah si alim. Dari balik jendela, tampak keponakan sang tuan rumah. “Ada apa, wahai fulanah?” tanyanya. 

“Katakanlah kepada syekh, saya datang dari tempat yang jauh untuk menanyakan kepadanya perihal hukum agama. Saya ingin mendapatkan fatwa darinya,” ujar si wanita. 

Si keponakan lantas memberitahu kepadanya perihal duka yang dialami ulama tersebut. Termasuk keengganan sang syekh untuk menerima tamu, siapa pun itu. Namun, perempuan tersebut tidak menyerah.  

Dengan sabar, wanita ini meminta sang tuan rumah agar bersedia menerima kedatangannya. “Katakanlah kepada syekh, saya akan terus menunggu di depan rumah ini. Tidak akan saya pergi sebelum menerima fatwa darinya,” ujar tamu ini. 

Si keponakan lalu masuk ke dalam. Selang beberapa lama, orang-orang yang tadi berkerumun di depan rumah tersebut sudah tidak ada lagi. Mereka semua telah kembali ke rumah masing-masing. Maka, hanya dirinya seorang di sana, dengan sabar menanti jawaban. 

Setelah berjam-jam menunggu, pintu rumah itu pun terbuka. Si keponakan mempersilakan wanita itu untuk masuk. Di ruang tamu, tampak sejumlah saudara perempuan sang tuan rumah. Wajah mereka masih menyiratkan duka. Akhirnya, tibalah saat yang dinanti. Sang ulama keluar dari kamarnya untuk bertemu dengan si wanita. 

Setelah mengucapkan salam, tamu yang gigih itu berkata kepadanya, “Wahai syekh, aku datang kepadamu untuk meminta fatwa tentang sesuatu.” “Tentang apa itu?” tanya sang ulama.

“Jadi, aku telah meminjam sejumlah perhiasan dari tetanggaku. Benda itu pun kupakai hingga beberapa lama. Akan tetapi, tetanggaku kemudian mengirimkan orang-orang ke rumahku, memintaku agar mengembalikan perhiasan itu,” kata perempuan ini menuturkan persoalannya. “Yang ingin kutanyakan, apakah aku harus mengembalikannya?” 

Sekilas, wajah syekh ini tampak terkejut dengan pertanyaan itu. Sebab, jawabannya sangat amat jelas dan terang benderang. “Demi Allah, perhiasan itu tentu saja harus engkau kembalikan. Tetanggamu lebih berhak atas benda itu. Apalagi, sudah lama perhiasan tersebut engkau pinjam darinya,” kata alim tersebut menjelaskan.

Mendapatkan jawaban itu, si perempuan berkomentar, “Semoga Allah merahmatimu. Maka itu, mengapakah engkau terus bersedih atas apa yang telah Allah pinjamkan kepadamu?” Sang syekh sepintas terpana mendengarnya, tapi tetap diam mendengarkan. 

“Dahulu, Allah meminjamkan salah satu makhluk- Nya, yakni seorang yang salehah, untuk menjadi istrimu. Lantas, sekarang Dia mengambil milik-Nya kembali. Mengapa engkau bersedih hati? Dia lebih berhak atasnya.” 

 

Sadarlah alim tersebut akan kekeliruannya. Sejak saat itu, tidak lagi dirinya mengurung diri dari umat. Al-Qasim bin Muhammad pun usai mendengar cerita itu menjadi tersadar. Jangan sampai duka luput dari keinsafan bahwa segalanya adalah milik Allah, dan akan kembali kepada-Nya.      

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler