Keamanan Pangan dan Stabilitas Kawasan Jadi Fokus Pertemuan ASEAN-China
Keamanan pangan dapat dipastikan melalui rantai pasok.
REPUBLIKA.CO.ID, PHNOM PENH -- ASEAN dan China menggelar ASEAN-China Ministerial Meeting di Phnom Penh, Kamboja, Kamis (4/8/2022). Keamanan pangan dan stabilitas regional termasuk dalam kerja sama yang hendak diperkuat kedua belah pihak.
“Di ASEAN-China Ministerial Meeting, diajukan dua area kerja sama ASEAN-China untuk diperkuat: keamanan pangan serta keamanan dan perdamaian regional,” kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi lewat akun Twitter resminya.
Retno menjelaskan, terdapat dua cara untuk memastikan keamanan pangan. Pertama, dalam jangka pendek, yakni dengan memastikan rantai pasok pangan. “Untuk jangka panjang: memperkuat ketahanan pangan kawasan melalui pendirian Regional Food Emergency Relief Mechanism, investasi untuk inovasi pertanian, dan pengembangan strategi keamanan pangan,” kata Retno, dalam keterangan yang dirilis Kementerian Luar Negeri.
Dalam ASEAN-China Ministerial Meeting, Retno turut menyampaikan tentang pentingnya ASEAN dan China berkontribusi dalam menciptakan perdamaian serta stabilitas di kawasan. Dia secara khusus mengutarakan kekhawatirannya terkait meningkatnya rivalitas di antara kekuatan besar. Ia menilai, jika rivalitas itu tidak dikelola dengan baik, maka akan dapat berujung pada konflik terbuka. “Termasuk di Selat Taiwan,” ujarnya.
Retno mendorong agar semua pihak menahan diri dan tidak melakukan tindakan provokatif yang dapat memperburuk situasi. “Saat ini dunia memerlukan kearifan dan tanggung jawab agar perdamaian serta stabilitas terjaga,” ucapnya.
Selain itu, Retno turut menekankan tentang pentingnya menjaga kepercayaan. Dalam hal ini, dia menyebut penting bagi China menjadi bagian dari pelaksanaan ASEAN Outlook on the Indo-Pacific. Penting pula bagi Beijing menghormati hukum internasional, termasuk terhadap Konvensi PBB untuk Hukum Laut (UNCLOS) 1982.
Saat ini China dan beberapa negara ASEAN terlibat sengketa klaim atas wilayah Laut China Selatan. Klaim Negeri Tirai Bambu atas wilayah perairan strategis itu dinilai tak sejalan dengan aturan UNCLOS 1982.