Penyebab Film Live Action Disney Sering Dikritik
Penggemar konten aslinya terkadang marah dengan versi live-action Disney.
REPUBLIKA.CO.ID, LOS ANGELES -- Disney kerap menggagas proyek remake film live action dari sejumlah sinema animasi klasiknya. Penerimaan secara komersial untuk deretan sinema tersebut cukup bervariasi, namun berbeda halnya dengan pandangan kritikus terhadap film-film yang ada.
Melansir dari laman Game Rant, Selasa (9/8/2022), saat ini, Disney terhitung telah menghasilkan 18 remake dari karyanya sendiri, dan ada lebih banyak lagi rencana perilisan film serupa di masa mendatang. Alih-alih membuat cerita orisinal baru, Disney malah memilih langkah mendaur ulang cerita dengan bumbu efek visual baru.
Sebagian orang memang senang melihat tayangan nostalgia masa kecil mereka diteruskan ke generasi berikutnya. Akan tetapi, pandangan kritis menganggap remake jadi cara mengeruk uang sehingga perusahaan mendapat untung dari kekayaan intelektual (IP) yang dimiliki.
Secara finansial, remake Disney yang paling sukses adalah film The Lion King (2019) besutan sutradara John Favreau yang merupakan salah satu film termahal sepanjang masa. Terkait hal teknis, itu bukan film live action, melainkan tayangan yang menerapkan CGI fotorealistik.
Film dengan anggaran 260 juta dolar AS (kini setara dengan 3,86 triliun) itu mendapat penghasilan 1,6 miliar dolar AS (Rp 23,77 triliun). Angka fantastis tersebut menjadikannya film terlaris ketujuh yang pernah dibuat. Namun, apresiasi kritikus tak sejalan dengan pendapatan.
The Lion King mendapat skor 52 persen dari kritikus dan 88 persen dari penonton di laman ulasan Rotten Tomatoes. Mayoritas penonton memuji film karena aspek nostalgia, sementara kritikus menganggap remake tersebut gagal dan jadi pertanda suram kemunduran bagi Disney.
Alice in Wonderland rilisan 2010 dari Tim Burton bisa dibilang memulai tren live action Disney dengan pengembalian finansial yang sangat besar, tetapi tidak semua berakhir demikian. Pendapatan garapan ulang Dumbo pada 2019 jauh di bawah ekspektasi.
Sekuel Alice Through the Looking Glass juga tidak menutup anggaran, begitu juga sekuel Maleficent: Mistress of Evil. Itu membuktikan tidak semua perilisan sinema remake live-action Disney berjalan mulus, seperti halnya Mulan dan Cruella yang terimbas pandemi Covid-19.
Elemen nostalgia menjadi kekuatan dari deretan film remake live-action Disney. Sebagian penggemar menyukai gagasan bahwa anak-anak mereka bisa menikmati karya yang sama dengan yang dulu mereka nikmati, namun dengan efek lebih modern. Hanya saja, hasil akhir film tidak selalu memuaskan.
Penggemar konten aslinya terkadang marah karena tayangan live action merusak warisan klasik tercinta. Memanfaatkan nostalgia pun bisa dianggap sebagai langkah menghindari risiko dengan hanya memakai konten yang sudah ada sehingga kreativitas sineas tenggelam.
Menggunakan IP terkenal adalah pertaruhan bagi studio. Di satu sisi, itu menarik audiens untuk penasaran dan menonton. Di sisi lain, jika gagal, itu dapat merusak seluruh basis penggemar. Apabila terlalu banyak kegagalan, penggemar mungkin enggan melihat film lain kelak.
Penggemar yang secara konsisten dipicu kemarahannya akan membekaskan luka berkelanjutan. Adaptasi karya yang buruk dari tayangan yang telah lama dicintai semua orang akan melekat di benak para penggemar selamanya dan memunculkan kesan buruk.
Akan tetapi, dalam kasus Disney, hingga kini belum ada bencana box-office dari tayangan remake live-action mereka yang benar-benar mengerikan. Itu jadi alasan studio untuk menghadirkannya lagi dan lagi.